Inginku terus mempertahankan, tetapi situasi memaksaku untuk berhenti bertahan ~Vivian.
* * *
Khawatir. Hanya itu yang sejak tadi memenuhi pikiran Vivian. Dia khawatir dengan keadaan Aldino yang sampai sekarang pun belum memberi kabar sama sekali.
Apa Aldino baik-baik aja? Apa dia udah makan? Gimana kondisi dia sekarang?
Untuk kali keenam puluh dua, Vivian kembali melirik ponsel yang ia letakkan tepat di sofa sebelah kanannya, masih menunggu balasan dari cowok yang sejak tadi membuat Vivian gila karena mengkhawatirkan kondisinya. Ia lagi-lagi menundukkan kepala sambil menutup mata rapat, berusaha menjernihkan pikirannya yang mulai kacau. Namun secepat kilat mata Vivian kembali pada layar ponsel ketika benda itu bergetar bersamaan dengan layarnya yang menyala secara tiba-tiba.
Panggilan dari Salsha.
Vivian sudah tidak peduli lagi dengan siapa ia akan berbicara, yang terpenting sekarang adalah Aldino. Dia hanya ingin tahu bagaimana keadaan Aldino sekarang. Dan Vivian berharap, ia bisa merasa lebih tenang setelah mengetahui kondisi lelaki itu.
Tanpa aba-aba lagi, Vivian segera mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponselnya di samping telinga. "Salsha! Gimana keadaan Pak Aldino?!"
Di seberang sana Salsha sempat terdiam selama beberapa saat sebelum pada akhirnya buka suara, "Maksud kamu? Jadi, kamu juga nggak tau Aldino ada di mana?"
Vivian mengernyitkan keningnya kebingungan, dirinya malah semakin panik. Jika Aldino tidak ada di rumah, lantas di mana keberadaannya sekarang?
"Vi?"
"Kamu nggak ketemu sama Pak Aldino sama sekali?" Vivian bertanya lagi untuk memastikan.
"Terakhir kali aku ketemu Aldino tadi pagi, sebelum dia berangkat ke kantor. Terus kita nggak ketemu lagi. Ini udah jam dua pagi, mustahil kalo dia masih kerja..."
Pandangan Vivian seketika beralih pada pintu utama apartemen kala dering nyaring dari bel mulai merasuki gendang telinganya. "Udah dulu ya, Sha. Nanti aku telepon lagi."
Tanpa menunggu balasan, Vivian segera menutup panggilan tersebut lalu berlari kencang menuju pintu. Ketika baru saja membuka pintu, matanya langsung menemukan sosok Aldino dengan wajah pucat dan rambut berantakan serta dasi dan jas hitam yang sudah tampak kusut, seperti tak terurus. Vivian sempat mengamati Aldino sebelum pada akhirnya mengusap dadanya beberapa kali seraya menghela napas panjang, begitu lega karena dirinya masih bisa bertemu Aldino meski kondisi cowok itu sedang tidak baik-baik saja. Padahal, dari tadi pikiran Vivian sudah menjalar ke segala arah.
"Al... Are you okay?" nada bicara Vivian terdengar begitu khawatir.
Bukannya menjawab, Aldino malah diam sambil memandangi Vivian dengan mata merah. Perlahan, ia melangkah mendekat dan semakin dekat sampai membuat Vivian bingung. Satu detik setelah itu, Aldino berhasil menarik tubuh Vivian hingga terjatuh ke dalam dekapannya yang nyaman.
"Vivian... Maaf," bisiknya, sangat lembut.
Vivian menggeleng kuat. "Seharusnya aku yang bilang kayak gitu. Maaf, karena aku nggak jawab telepon kamu tadi pagi. Maaf juga karena aku-"
"Sssttt... That's okay." Aldino mengelus rambut cokelat Vivian dengan penuh kasih sayang. "Aku tau tadi pagi kamu lagi butuh waktu untuk sendiri. Jadi, kamu nggak usah minta maaf."
"Tapi aku nggak ada di sisi kamu waktu kamu butuh aku..." lirih Vivian, seperti menahan tangis.
"Kamu nggak salah... Aku yang salah karena nggak kasih kabar dari tadi." Aldino melonggarkan pelukannya kemudian mengusap wajah Vivian dengan lembut sembari tersenyum manis. "I miss you so bad..."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Third Person ✔
RomanceVivian pasti sudah gila! Tidak mungkin dia mencintai atasannya yang sudah beristri. Bekerja sebagai sekretaris seorang CEO super ganteng dan beribawa seperti Aldino Wilfred adalah posisi yang paling diidamkan oleh seluruh kaum hawa. Namun ternyata...