BAB 20

53K 3K 360
                                    

Seperti biasanya, pagi-pagi buta begini, Salsha sudah sibuk di dapur menyiapkan berbagai menu sarapan pagi untuk Aldino. Meskipun dia tahu Aldino tidak akan memakannya, namun dia tidak pernah merasa lelah menyiapkan semua makanan ini. Salsha hanya dapat berharap Aldino mau memakan masakannya barang satu kali saja dan dia selalu menunggu sampai hal itu terjadi.

Salsha tersenyum manis kala melihat pintu kamar Aldino terbuka hingga menampilkan seorang pria yang melangkah keluar dengan ekspresi datar seperti biasa. Tangan kanannya memegang sebuah jas hitam lengkap dengan dasi berwarna merah gelap, sedangkan tangan kiri memegang tas yang selalu ia pakai untuk bekerja. Sebelum pria itu benar-benar pergi, dengan langkah seribu, Salsha berlari kencang menghampiri Aldino.

"Al..." panggil Salsha, begitu lembut.

Aldino tak menjawab, dia hanya melirik ke arah Salsha sekilas.

Salsha tersenyum hangat. "Kamu mau sarapan dulu? Aku udah buatin sarapan pagi buat kamu."

"Nggak perlu."

"Oh... gitu." Salsha mengangguk paksa. "Kalau gitu, aku bakal pasangin dasi kamu!" ujar Salsha kemudian segera meraih dasi yang berada dalam genggaman suaminya.

"Nggak perlu! Saya akan sarapan di kantor dan Vivian yang akan memasangkan dasinya. Permisi..." Aldino merebut paksa dasi yang sempat diambil Salsha lalu melesat pergi begitu saja.

"Al!" kali ini nada bicara Salsha terdengar sedikit membentak.

Aldino menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya hingga menghadap Salsha lagi. "Ada apa lagi?"

Salsha mendekat kemudian menunduk dalam. "Kalau kamu emang nggak punya perasaan sama aku, aku bisa terima. Tapi kalau kamu memberi perasaan kamu buat perempuan lain, aku nggak bisa terima, Al..." mata Salsha mulai berkaca-kaca. Sejujurnya, dirinya sudah terlalu lelah, ia tidak akan sanggup jika situasinya akan terus berakhir pahit begini.

Aldino masih memasang ekspresi datar dan terus menatap Salsha selama beberapa saat. "Kalau gitu, jangan! Kamu nggak perlu terima, aku juga nggak pernah meminta kamu untuk terima kan?"

Salsha menatap Aldino dengan alis bertautan, tanda bingung. "Maksud kamu?!"

"Ayo akhiri semua ini! Kita nggak bisa terus sama-sama. Pernikahan ini nggak berarti apa-apa untuk saya. Saya mencintai Vivian, sampai kapan pun saya nggak akan berhenti mencintai dia."

"Aldino!"

"Sal—"

"Kalau dari awal kamu nggak bisa mencintai aku, lebih baik kita nggak usah menikah, Aldino! Kita sudah dewasa, jangan main-main soal hati." Sesekali isakannya terdengar, masih berusaha menahan tangis agar tidak pecah.

"Saya nggak pernah mau menikah sama kamu! Semua ini rencana orangtua kita."

"Kenapa kamu nggak nolak?! Kenapa kamu terima?!"

"Saya dipaksa, Salsha... Kamu nggak tau seberapa kerasnya orangtua saya kalau saya nggak menuruti permintaan mereka sekali aja."

Salsha mengusap air matanya sekilas lalu tertunduk dalam. "Tapi seenggaknya jangan jadikan aku korban cuma karena orangtua kamu. Hati aku sakit, Al..."

"Kalau gitu kita cerai aja! Saya akan urus perceraian kita, dan saya juga akan membicarakan ini dengan orangtua saya. Kamu cuma perlu menunggu," ucapan Aldino semakin membuat Salsha histeris.

"NGGAK! AKU NGGAK MAU CERAI!" teriak Salsha sembari menjambak rambutnya sendiri. "Pernikahan kita sudah terlanjur berjalan, kita harus perbaiki semua ini! Kamu bisa mencoba mencintai aku, Al... Kamu pasti bisa. Kita mulai semuanya dari awal, bisa kan?"

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang