BAB 31

39.1K 2K 124
                                    

Mati-matian, Salsha berusaha menahan air matanya agar tidak mengalir keluar kala menyaksikan rekaman CCTV yang kini tampil di layar laptopnya. Namun, semuanya sia-sia. Air mata sialan ini tetap keluar walau sudah ditahan sekuat tenaga. Rekaman ini adalah rekaman CCTV di rumahnya, lebih tepatnya di dalam kamar Aldino. Sekitar dua minggu yang lalu, Salsha memang pernah memasang CCTV secara diam-diam di dalam kamar Aldino.

Bila Salsha sedang tidak mood, ia sering kali memerhatikan suaminya di dalam kamar. Karena hanya lewat rekaman CCTV sajalah ia bisa benar-benar memerhatikan Aldino. Dan ia tidak pernah menyangka, sekarang ia malah menyaksikan hal yang paling tidak ingin disaksikan. Melihat Aldino dan Vivian bermesraan di dalam kamar. Bahkan saling beradu bibir.

Sakit, itulah yang ia rasakan sekarang. Salsha tertunduk lemah dan menutup rapat kedua matanya, mencoba menjernihkan pikiran yang sudah kacau balau ini. Istri mana yang tidak sakit hati ketika melihat suaminya berselingkuh dengan perempuan lain. Lagi-lagi dia terluka karena ulah suaminya sendiri. Hanya karena perasaannya dia dapat bertahan, dia tidak peduli jika orang-orang berkata dirinya bodoh. Ya, itu memang benar. Tapi bertahan dalam kebodohan dan kesakitan itu memang pilihannya sendiri. Sampai kapan pun dia akan tetap bertahan hingga suaminya melirik padanya.

"Sha..." Sambil membawa dua buah cangkir berisikan teh hangat, Arion berjalan mendekati sofa, tempat duduk Salsha.

Salsha menutup laptopnya, kemudian mendongak menatap Arion seraya mengusap air matanya sekilas. Dia berusaha tersenyum paksa lalu menyambut segelas teh yang Arion berikan. "Thanks..."

Arion ikut bergabung bersama Salsha di sofa, cowok itu duduk di sebelah kanan Salsha. "Kamu beneran bakal nginep di sini? Aldino nggak akan marah kan?"

Salsha terkekeh pelan. "Marah? Bahkan walau aku tidur di dalam hutan sekali pun, dia nggak akan peduli."

Arion meraih tangan Salsha lalu menggenggamnya erat, sesekali ibu jarinya mengelus lembut punggung tangan perempuan itu. "Kamu terlalu berharap, karena itu kamu terluka."

Salsha tak menjawab dan malah membuang muka ke arah lain. Entah mengapa ia enggan menatap Arion. Hatinya malah terasa sakit ketika mendengar kalimat Arion tadi. Ingin menangis, tetapi Salsha tahu ia tidak boleh secengeng ini. Sudah terlalu banyak air mata yang ia keluarkan akhir-akhir ini. Dan semua penyebabnya adalah suaminya sendiri, Aldino.

"Mencintai seseorang boleh aja, nggak ada yang ngelarang kok. Tapi jangan lupa buat mencintai diri kamu sendiri dulu. Kalau kamu cinta sama diri kamu duluan, kamu nggak akan tega nyakitin diri kamu kayak sekarang. Dan proses penyembuhan luka di hati kamu pasti akan semakin cepat. Kamu udah terlalu banyak terluka karena seseorang, sampai kapan kamu bakalan terus kayak gini?"

Salsha tak berkutik lagi dan malah menangis hingga sesenggukan, suara tangisnya menandakan seberapa besar luka yang ada di dalam hatinya saat ini. Arion yang melihat itu pun segera menarik Salsha hingga terjatuh ke dalam pelukannya. Ia membenamkan kepala Salsha di atas dada bidangnya, kemudian mengelus lembut rambut panjang Salsha yang berjuntai ke bawah.

"Andai aku bisa dapetin cewek setulus kamu, aku pasti bakalan bersyukur banget sama Tuhan, Sha... Tapi aku tau, kamu nggak mungkin bisa membalas perasaan aku."

* * *

Pagi-pagi buta, tepatnya pukul enam pagi, Aldino sudah tampak berdiri dengan gagahnya di samping mobil putih yang terparkir di halaman rumahnya yang luas. Aldino memegang ponsel yang kini berada di samping telinganya sambil berbicara dengan seseorang di seberang sana.

"Okay. See you di kantor, sayang..." Aldino menjauhkan benda tersebut dari telinganya kemudian tersenyum sekilas sambil menatap layar ponsel selama beberapa detik. Kemudian pandangannya langsung beralih pada Salsha yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya. "Oh, kamu udah pulang?"

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang