Di dalam ruang tengah rumahnya, Irene duduk sendirian di atas sofa besar berwarna abu terang dengan ekspresi menyeramkan seperti sedang menahan emosi yang hampir meledak. Mana mungkin dia tidak naik darah setelah tahu bahwa Vivian kabur begitu saja dari rumah ini. Apalagi, tidak ada seorang pun bodyguard suruhannya yang bisa menghalangi aksi Vivian.
"Bu Irene..."
Mendengar namanya dipanggil, Irene menoleh ke arah datangnya seorang pria berpakaian hitam yang baru saja datang menghampiri dirinya. "Gimana?!" Irene bertanya sarkastik.
Davin menunduk takut dan berucap pelan, "Kami belum bisa menemukan Vivian, Bu..."
Irene mendengus kasar dan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Saya nggak mau tau, kalian harus menemukan Vivian secepatnya dan bawa dia pulang ke rumah ini!"
"Tapi... gimana kalau Vivian menolak?"
Irene sempat tak buka suara selama beberapa saat lalu setelah itu, ia kembali melanjutkan, "Apa saya bisa memercayai kamu, Davin?" nada bicara Irene seakan mengintimidasi.
Davin mengangguk cepat. "Bisa! Ibu tenang aja!" jawabannya terdengar yakin.
Irene menggeser tubuhnya ke sisi kanan sofa untuk mendekat pada Davin, kemudian ia menatap lelaki itu lekat. "Kalau Vivian menolak pulang, tembak dia."
Davin melotot tak percaya. "T-tapi—"
"Saya udah muak sama anak nggak tau diri itu! Dia selalu bikin ulah, jadi lebih baik dia mati aja biar nggak ngerepotin orang lain!" ucap Irene enteng, seakan tak bersalah.
"Tapi... gimana kalau suami ibu tau tentang hal ini? Kita bisa kena masalah besar, bu!"
"Ya kalian jangan ngaku lah! Pura-pura nggak tau aja. Manusia tua bangka itu pasti bakalan percaya sama saya. Dan inget satu lagi, jangan sampe kalian ninggalin bukti sedikit pun."
Davin lagi-lagi mengangguk patuh. "Baik, bu! Kami akan melakukan sesuai perintah ibu."
Irene tersenyum puas. "Okay, saya tunggu kabar baiknya..."
"Kalau gitu, saya permisi."
Setelah Davin keluar melewati pintu besar rumah mewah tersebut, Irene langsung meraih ponselnya yang sejak tadi berada di atas meja. Ia mengotak-atik layar ponselnya selama beberapa saat lalu menempelkan benda tersebut di samping telinga.
Senyuman Irene merekah ketika orang yang dihubunginya mengangkat sambungan telepon. "Sha..."
"Iya, kak," suara Salsha terdengar serak menandakan jika dirinya habis menangis.
"Kamu tenang aja... Mulai sekarang, aku berani jamin Vivian dan Aldino nggak akan ketemu lagi. Kamu nggak perlu khawatir!"
Salsha tak menjawab, tetapi isakannya sesekali terdengar di seberang sana. Sepertinya gadis itu menangis lagi. Dan hal itu wajar. Perempuan mana yang tahan tak menangis kala harus merelakan suaminya menemui perempuan lain yang sudah jelas-jelas perempuan itu hampir saja merusak pernikahan mereka.
"Jangan nangis lagi, Sha. Orang suruhan aku bakal secepatnya menembak Vivian malam ini kalau jalang itu menolak buat pulang."
"Apa?! Ditembak?!"
"Iya."
"Jangan! Kenapa kakak ngelakuin hal senekat itu? Walaupun dia udah ngerusak pernikahan aku, tapi aku nggak pernah berniat melukai Vivian..."
"Sha, kamu harus bersikap egois sesekali. Jangan terus menjadi yang paling lemah dan paling tersakiti hanya karena perempuan murahan itu!"
"Jangan, kak! Jangan ngelakuin itu! Kakak—"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Third Person ✔
RomanceVivian pasti sudah gila! Tidak mungkin dia mencintai atasannya yang sudah beristri. Bekerja sebagai sekretaris seorang CEO super ganteng dan beribawa seperti Aldino Wilfred adalah posisi yang paling diidamkan oleh seluruh kaum hawa. Namun ternyata...