Aldino duduk sendirian di tepi kasur sambil terus menatap layar laptopnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi sepertinya pekerjaan cowok itu tak kunjung selesai. Aldino mengedipkan matanya beberapa kali berusaha menahan rasa kantuk yang kian berat. Sesaat kemudian, perempuan cantik dengan piyama berwarna lilac muncul dari balik pintu kamar, dia tersenyum manis menatap Aldino lalu melangkah mendekati suaminya.
"Al..." panggil Salsha, namun tak mendapat jawaban dari Aldino. "Udah jam segini, kerjaannya dilanjutin besok aja. Kalo kecapekan, kamu bisa sakit. Jadi, sekarang kamu tidur, okay?" Salsha masih senantiasa tersenyum, namun Aldino tidak menanggapinya sama sekali. Cowok itu masih diam tak berkutik, bahkan melirik pada lawan bicaranya pun tidak.
"Ya udah, aku tidur duluan ya... Good night, Al." Salsha tersenyum lagi kemudian ia melangkah keluar dari ruangan itu.
Ya, mereka berdua memang tidak tidur bersama. Bahkan tidak pernah. Sejak dua tahun pernikahan mereka, Aldino tidak pernah menyentuh Salsha sedikit pun apalagi tidur bersama. Jangankan menyentuh, berbicara pun jarang. Mungkin hanya Salsha yang terus berbicara dan memberikan banyak perhatian untuk suaminya. Namun, Aldino jarang membalas dan menanggapi Salsha.
Pernikahan yang sudah berjalan selama dua tahun ini adalah sebuah perjodohan paksa yang dilakukan oleh orangtua mereka. Aldino terpaksa harus mengikuti perkataan orangtuanya yang super keras itu. Dia tidak pernah memiliki hak untuk memilih jalan hidupnya. Jika dia berani membantah perintah orangtuanya sekali saja, sudah dapat dipastikan Aldino akan mendapat hukuman berat dari ayahnya.
Hampir setiap hari Aldino merasa tidak sanggup menjalani hidupnya yang terasa begitu melelahkan ini. Mengapa dunia harus bersikap sekeras ini padanya? Kenapa dirinya tidak bisa memiliki kebebasan sedikit pun? Lalu sebenarnya, untuk apa dia hidup? Pemikiran itulah yang selalu menghantui Aldino selama ini.
* * *
Cewek cantik dengan rambut disanggul berantakan itu duduk di atas bangku yang terletak di dalam balkon kamar, bibirnya mengukir senyuman manis kala memandangi bintang-bintang yang kini menghiasi langit malam. Sungguh cantik. Senyuman Vivian semakin melebar saat mengingat kejadian tadi pagi yang terasa begitu menyenangkan, duduk berboncengan di atas sepeda bersama Aldino sambil menikmati sapuan angin pagi. Entahlah, dia juga bingung dengan dirinya sendiri. Dia tahu, dia tidak boleh menaruh perasaan apapun pada lelaki itu, tapi dirinya sudah terlanjur nyaman bersamanya.
Terkadang, Vivian jadi bingung sendiri. Dia tidak tahu harus bagaimana dengan perasaannya. Bagaimana bisa dia tidak jatuh hati dengan Aldino jika pria itu terus memberinya perhatian eksklusif begini? Apalagi mereka bertemu hampir setiap hari.
Senyuman manis itu luntur seketika, Vivian menepuk keras kedua pipinya berkali-kali. "Sadar, Vi! Sadar! Dia udah nikah!" seru Vivian pada dirinya sendiri. Vivian menghembus napas panjang lalu matanya beralih pada layar ponsel yang tiba-tiba menyala dengan sendirinya bersamaan dengan deringan nyaring yang berasal dari benda pipih itu.
Vivian melongo beberapa saat lalu kembali tersenyum lebar ketika melihat nama Aldino yang tertera di layar ponsel. Tanpa basa-basi, Vivian dengan cepat mengangkat panggilan dari cowok yang membuatnya dilema seharian ini.
"Halo, Pak?"
"Belum tidur?" suara berat dari cowok di seberang sana membuat hati Vivian meleleh seketika.
"Ehm... Belum. Saya belum ngantuk."
"Kamu sibuk, nggak?"
"Nggak kok, Pak. Kenapa? Apa Bapak perlu saya sekarang?"
"Nggak... Saya cuma pengin nelepon kamu aja. Apa kamu keberatan?"
Vivian tidak bisa menyembunyikan senyumannya lebih lama lagi, dia benar-benar senang sampai mendadak mulas, entah mengapa bisa sampai begitu. "Nggak ganggu sama sekali, Pak."
"Besok, bisa temenin saya di ruangan? Kamu cuma perlu duduk manis di dalam ruangan saya."
"Cuma duduk aja?" Vivian mengernyit bingung.
"Saya kesepian di dalam ruangan itu sendirian. Jadi saya rasa, saya butuh temen."
Kedua pipi Vivian langsung menampilkan semburat merah serta jantungnya berdetak begitu cepat. Dia hanya bisa berharap detak jantungnya ini tidak kedengaran sampai ke seberang sana.
"Oke, Pak... Besok saya bakal nemenin Bapak."
"Kalau gitu, sekarang kamu tidur. See you besok."
Vivian mendadak gelagapan. "O-okay, see you besok, Pak."
Panggilan singkat itu terputus.
Vivian rasanya ingin sekali berteriak sambil jingkrak-jingkrak. Untung saja dia masih ingat dengan para tetangganya. Jika tidak, Vivian sudah pasti akan berteriak sambil melompat heboh sekarang juga. Dia mendadak berubah menjadi anak kecil yang baru saja masuk dalam dunia percintaan. Sebelumnya, Vivian paling anti dengan kisah cinta yang baginya terlalu bertele-tele dan seakan terkesan berlebihan. Tapi tampaknya, sekarang dirinya sendiri sudah terjebak dalam kisah cinta seperti itu.
"Good night, Pak Aldino!" Vivian membatin sambil tersenyum manis lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya dengan langkah seperti anak kecil yang kegirangan.
* * *
Dan di sinilah Vivian berada, berdiri kaku di depan sebuah pintu besar yang akan menghubungkannya pada ruangan kerja Aldino. Dia merapikan rambutnya sambil berkaca lewat pantulan layar ponsel lalu tersenyum manis di depan layar benda pipih tersebut, bertujuan untuk menyiapkan senyuman terbaiknya untuk Aldino. Vivian menarik napas dalam lalu membuka pintu ruangan dan berjalan masuk ke dalam sana.
Ketika matanya menangkap sosok Aldino, Vivian segera mengangguk memberi salam. "Pagi, Pak."
"Duduk," suruh Aldino.
Vivian mengangguk menurut, kemudian melangkah ke arah sofa yang menghadap langsung ke arah meja kerja Aldino. Cewek itu memberikan senyumannya pada Aldino sebelum mendaratkan bokongnya di atas sofa, dia duduk sendirian di sana. Mata Vivian refleks menatap Aldino yang tampak sibuk dengan pekerjaannya. Dan Vivian lagi-lagi terhipnotis dengan ketampanan cowok itu. Mata Vivian tak bisa berhenti menatap Aldino yang kini duduk di balik meja kerja. Ketampanannya seakan bertambah berkali-kali lipat saat dia sedang serius begini.
Mata Aldino ikut menatap Vivian, seketika itu juga Vivian langsung mengalihkan pandangannya ke arah tablet yang kini dia pegang. Aldino tersenyum manis melihat tingkah menggemaskan Vivian yang duduk dengan jarak lima meter di hadapannya. Sebenarnya, Aldino sadar jika sejak tadi Vivian memandangi dirinya tanpa berkedip sekali pun, tapi sekarang Vivian malah sok sibuk dengan tabletnya.
"Vivian..."
Mata Vivian kembali beralih pada Aldino. "Iya, Pak?"
"Malam ini, saya yang anterin kamu pulang."
"Hah?" Vivian terdiam sejenak. Tunggu dulu, apa dia salah dengar? Setelah berpikir keras selama lima detik, Vivian kembali tersenyum ramah. "Ah... Bapak lembur lagi hari ini? Tenang aja, saya pasti anterin Bapak pulang kayak biasanya," sahut Vivian.
"Bukan saya, tapi kamu! Saya yang bakal nganterin pulang."
Vivian melongo tak percaya setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Aldino. Mungkin matanya hampir saja keluar karena ulah atasannya ini. Bukankah biasanya Vivian yang mengantarkan Aldino saat cowok itu sedang lembur? Kenapa jadi terbalik begini?
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Third Person ✔
RomanceVivian pasti sudah gila! Tidak mungkin dia mencintai atasannya yang sudah beristri. Bekerja sebagai sekretaris seorang CEO super ganteng dan beribawa seperti Aldino Wilfred adalah posisi yang paling diidamkan oleh seluruh kaum hawa. Namun ternyata...