Aldino sampai di rumahnya tepat pukul sebelas malam. Sambil menanggalkan jas hitamnya, dia melangkah masuk ke dalam rumah mewah itu. Langkahnya terhenti saat seorang perempuan cantik tiba-tiba berdiri di hadapannya. Gadis itu tersenyum manis lalu meraih jas hitam yang tadinya berada dalam genggaman Aldino.
"Akhirnya kamu pulang juga. Aku nungguin kamu dari tadi." Salsha tersenyum manis. "Mau makan malem dulu? Aku udah siapin makan malem buat kamu."
"Saya nggak lapar," balas Aldino lalu melengos pergi begitu saja melewati Salsha.
Senyuman hangat itu masih terukir di bibir cantik Salsha, dia ikut berjalan mengikuti suaminya. "Al..." panggil Salsha dengan begitu lembut. Namun, panggilannya tak mendapat jawaban dari si pemilik nama. Cewek itu masih belum menyerah juga. Dia terus melangkah mengikuti Aldino menuju kamarnya dan kembali tersenyum saat cowok itu berbalik ke arahnya.
"Kamu kenapa ngikutin saya?" Aldino bertanya dengan wajah datar andalannya.
"Kamu pasti capek kan? Mau aku buatin teh? Atau mungkin-"
"Saya mau istirahat. Tolong jangan mengganggu..." Aldino berujar ketus lalu mulai menutup pintu kamarnya. Sebelum pintu itu benar-benar tertutup, Salsha dengan segera menahannya. Hal itu malah membuat Aldino memberi tatapan sinis pada perempuan keras kepala di hadapannya ini.
Senyuman Salsha yang tadinya terukir manis, kini berubah 180 derajat. Dia menatap Aldino dengan mata berkaca-kaca, berusaha sebisa mungkin agar air mata itu tidak lolos di depan suaminya. Jujur saja, Salsha sudah tidak tahan lagi dengan sikap dingin Aldino selama ini.
"Al, bisa nggak sekali aja kamu nggak bersikap kayak gini? Bisa nggak sekali aja kamu makan makanan yang aku buat? Aku nggak pernah nuntut kamu buat kasih perhatian ke aku. Aku cuma mau, kamu terima perhatian aku. Cuma itu aja, Al..." Dan akhirnya, sebulir air mata yang telah ia tahan mati-matian berhasil lolos dari mata cantiknya.
Aldino hanya diam, tidak berbicara sedikit pun. Dia juga bingung dengan Salsha yang tiba-tiba menangis entah apa masalahnya. Padahal, selama ini cewek itu tidak pernah menangis di hadapan Aldino.
Salsha menghela napas panjang, ia mengusap air matanya sekilas dan kembali menatap Aldino. "Maaf karena aku tiba-tiba nangis kayak gini. Aku tau kamu pasti bingung."
Aldino masih tak menjawab. Dia memilih untuk diam memerhatikan Salsha yang terasa begitu aneh baginya.
"Pernikahan kita udah berjalan dua tahun, Al. Kamu tau kan sebuah pernikahan harus ada rasa di dalamnya? Jadi please, ayo kita saling kerja sama. Pernikahan ini nggak boleh hancur, karena ini kemauan orangtua kita."
"Kerja sama?" Aldino menaikkan satu alisnya.
"Kerja sama untuk menumbuhkan rasa cinta dalam pernikahan kita," balas Salsha.
"Nggak bisa."
"A-al...?"
"Sudah cukup perjodohan ini! Saya nggak bisa menaruh perasaan saya ke kamu, Salsha. Selamat malam!" Aldino kembali berniat untuk menutup pintu kamar tidurnya dan lagi-lagi terhalang karena Salsha kembali menahan.
"Tunggu!" Salsha menatap Aldino lekat. "Kamu punya perasaan sama dia kan?"
Aldino terdiam di tempatnya. "Apa maksud kamu?"
"Vivian..." lanjut Salsha.
"Kenapa jadi bawa-bawa dia dalam masalah ini? Dia nggak ada hubungannya sama pernikahan kita!" nada bicara Aldino naik satu oktaf.
"Ya, jelas ada! Kamu punya perasaan sama dia. Aku tau itu, Al..."
Aldino tak berkutik lagi, dia tidak bisa membantah perkataan Salsha. Toh, yang dikatakan perempuan ini memang benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Third Person ✔
RomanceVivian pasti sudah gila! Tidak mungkin dia mencintai atasannya yang sudah beristri. Bekerja sebagai sekretaris seorang CEO super ganteng dan beribawa seperti Aldino Wilfred adalah posisi yang paling diidamkan oleh seluruh kaum hawa. Namun ternyata...