BAB 8

60.8K 3.9K 47
                                    

Vivian POV

Pesawat pribadi Pak Aldino mendarat di Jakarta pukul satu siang. Sejak kejadian tadi pagi, kami tidak memulai pembicaraan sama sekali. Bahkan kami pulang secara terpisah, aku menggunakan taksi bandara dan Pak Aldino mengendari mobilnya sendiri. Untung saja hari ini Hari Minggu, jadi aku tidak perlu bertemunya untuk waktu yang lama.

Dan di sinilah aku berada, duduk sendirian di atas sofa yang terletak di dalam ruang tengah apartemenku. Bagiku, kejadian hari ini adalah kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan selama hidup di dunia ini. Dulu aku berpikir kesalahan terbesar yang pernah kulakukan adalah saat masa SMA dulu, saat aku bolos pelajaran dan pergi ke mall. Alhasil, aku harus kena omelan mama sampai larut malam. Atau beberapa hari yang lalu? Saat aku lupa mengirim file penting perusahaan.

Dan sekarang aku berubah pikiran. Dari semua kesalahan besar yang pernah aku buat, tidak ada yang separah ini. Aku merasa menjadi manusia paling bodoh karena menerima ciuman Pak Aldino begitu saja. Aku benar-benar kehilangan kendali sehingga membiarkannya menciumku. Masalahnya bukan hanya itu saja. Masalah selanjutnya adalah karena dia bukan pria lajang, tapi sudah memiliki istri. Bagaimana mungkin aku tidak gelisah dan khawatir?

Aku tidak tahu sudah berapa kali aku menghela napas panjang. Sejak tadi aku mencoba menjernihkan pikiranku dan berusaha untuk melupakan kejadian tadi pagi. Bagaimanapun juga, kami bekerja di tempat yang sama. Sangat tidak mungkin jika hubungan kita tidak baik, apalagi jika aku tiba-tiba menjaga jarak dengan Pak Aldino karena kejadian tadi pagi. Itu pasti akan sangat memengaruhi pekerjaan kita kan?

Pikiranku buyar saat bel apartemenku berbunyi berkali-kali. Siapa yang datang di hari libur begini? Sejauh ini belum pernah ada orang yang bertamu ke sini, bahkan tetanggaku sekali pun. Aku berpikir sejenak, berusaha menebak siapa orang di balik pintu itu. Namun hasilnya nihil. Aku tidak dapat menebak siapa pun.

Bel kembali berbunyi, secepat kilat aku bangkit dari tempat duduk dan berlari menuju pintu utama apartemen ini. Aku mematung kala menemukan Pak Aldino yang berdiri tepat di hadapanku saat pintu itu terbuka.

"Pak Aldino?"

"Apa saya boleh bertamu?"

"K-kok Bapak bisa tau apartemen saya?!" Aku sedikit melotot.

Aku melihat dia tertawa kecil. "Bagaimana mungkin saya nggak tau tempat tinggal sekretaris saya sendiri? Jelas aja saya tau dari data-data kamu di kantor."

"Buat apa Bapak ke sini?" tanyaku sambil memberi tatapan sinis padanya.

"Saya perlu bicara."

"Maaf, Pak. Saya lagi sibuk bersihin apartemen saya. Bapak tau sendiri kan kalo saya hampir nggak punya waktu buat diri saya sendiri karena terlalu sibuk ngurusin Bapak!" Aku sedikit memberi penekanan pada kalimatku, berusaha memberikan sindiran secara terang-terangan. Namun rupanya dia masih belum mengerti dan malah memberi senyuman membingungkan.

"Saya bantu bersihin apartemen kamu."

"Hah?!"

Aku belum memberikan jawaban apapun dan dia langsung nyelonong masuk seenaknya. Dan aku hanya bisa mematung sambil melotot tak percaya dengan cowok gila ini. Pak Aldino memang selalu seenaknya dan menyebalkan hampir setiap hari.

Dia menoleh ke arahku yang masih berdiri di dekat pintu lalu tersenyum tipis. "Sampai kapan kamu mau berdiri di sana?"

* * *

Author POV

Sesekali Vivian tertawa kecil kala melihat Aldino yang kini sibuk menyapu lantai apartemennya. Entah mengapa, pria itu terlihat menggemaskan saat menyapu lantai dengan gerakan kaku. Vivian yakin, cowok itu pasti belum pernah melakukannya. Vivian tersenyum manis lalu kembali melanjutkan kegiatannya, membersihkan rak buku di ruang tengah.

30 menit.

Vivian melangkah ke arah meja makan sambil membawa semangkuk mie instan. Dia menaruhnya tepat di hadapan Aldino lalu duduk berseberangan dengan lelaki itu. "Silahkan dimakan," ujar Vivian.

"Dimakan?" Aldino mengernyit bingung.

"Kenapa?" Vivian malah ikutan bingung.

"Saya... makan ini?"

"Iya..." Vivian mengangguk enteng. "Bapak belum makan kan? Jadi, makan dulu."

"Tapi... saya belum pernah makan mie instan."

Vivian membulatkan kedua matanya dengan sempurna. "Belum pernah?!"

Aldino menggeleng. "Belum..."

Sungguh, Vivian tak habis pikir ada seseorang seperti atasannya yang satu ini. Bagaimana bisa Aldino tidak pernah memakan makanan seenak mie instan?

"Kalau gitu, Bapak mau makan apa? Mau saya pesankan steak di restoran favorit Bapak?" Vivian segera menggapai ponsel yang ada di atas meja, berniat untuk memesan makanan.

"Nggak usah. Saya makan ini aja," ujar Aldino lalu dengan terburu-buru menyeruput kuah mie instan itu, ia meringis kepanasan setelahnya.

Vivian lantas tertawa geli di dalam hati. Ia segera menuangkan air mineral ke dalam gelas dan menyodorkannya pada Aldino. "Ditiup dulu..." Vivian berucap lembut.

Aldino tak menjawab, dia menyambut gelas yang diberikan Vivian dan meminumnya sebanyak tiga tegukan.

"Gimana rasanya?" tanya Vivian.

"Ini enak."

Bibir Vivian mengukir sebuah senyuman cantik. "Kapan-kapan, Bapak harus makan ini lagi. Jangan selalu makan makanan yang mahal, sesekali harus lihat ke bawah juga. Kita nggak selamanya di atas. Jadi seenggaknya saat kita ada di bawah, kita nggak kaget-kaget banget kalo cuma bisa makan mie instan."

"Hm," jawab Aldino singkat lalu beralih menatap Vivian yang duduk di hadapannya.

Vivian kembali merasa gugup. Tatapan Aldino memang selalu membuatnya gugup dan salah tingkah sendiri. Rasanya Vivian tidak sanggup berlama-lama dalam situasi ini.

"Ehm... Habis makan, Bapak bisa langsung pulang aja," Vivian sengaja berbicara untuk mencairkan suasana.

"Maafin saya," perkataan singkat itu langsung membuat jantung Vivian berdetak cepat. Vivian sudah tahu akan dibawa ke mana pembicaraan mereka ini. "Saya nggak bermaksud membuat kamu merasa nggak nyaman. Dan kamu bener, lebih baik kita lupain aja kejadian tadi pagi dan bersikap seperti biasanya."

Vivian tersenyum paksa. "Iya."

"Ini buat kamu." Aldino menaruh sebuah paper bag bermerek berukuran super besar di atas meja makan.

Vivian mengernyitkan keningnya. "Ini apa?"

"Ini barang-barang yang saya belikan di Bali kemaren. Ada baju-baju bagus yang cocok buat kamu. Kamu bisa pakai ke kantor." Aldino menjeda sebentar. "Kalau gitu... Saya lebih baik pulang sekarang. See you!" Untuk pertama kalinya, Aldino memberi senyuman yang begitu manis lalu ia beranjak dari tempat duduknya. Lelaki itu langsung melesat pergi meninggalkan Vivian begitu saja.

Sedangkan Vivian, ia masih membeku di atas bangku. Aldino yang biasanya bersikap super dingin kini menjadi super ramah dan tiba-tiba memberikan senyuman manis seperti tadi. Lalu hari ini Aldino membantunya membersihkan apartemen, dan sekarang pria itu memberinya pakaian bermerek seperti ini?! Apa maksudnya? Dia seenaknya saja menyuruh Vivian untuk bersikap seperti biasanya. Tapi bagaimana bisa Vivian melakukan hal itu setelah semua perhatian yang diberikan Aldino. Sungguh, Vivian dilema dengan perasaannya sendiri.
 

Tbc. 

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang