BAB 11

55.5K 3.3K 107
                                    

Seharian duduk di ruangan Aldino tanpa melakukan apapun malah membuat Vivian bosan sampai mengantuk, mereka hanya sempat keluar dari ruangan itu saat jam makan siang tadi. Alhasil, sekarang Vivian sudah tertidur lelap di atas sofa. Sepertinya Vivian tidak sanggup lagi menahan rasa kantuk yang teramat berat.

Aldino yang melihatnya pun lantas tertawa kecil. "Vivian..." panggil Aldino dengan lembut.

Tak ada jawaban. Cewek itu tampak masih larut dalam mimpinya. Masih dengan senyuman lebar di wajah ganteng Aldino, ia beranjak dari tempat duduknya kemudian melangkah ke arah sofa tempat Vivian tertidur. Aldino memandangi Vivian selama beberapa detik lalu mendekatkan wajahnya perlahan pada wajah Vivian. Senyuman Aldino kian melebar, matanya terus memandang kagum pada wajah cantik sekretarisnya ini.

"Vivian..."

Vivian mulai menggeliat di atas sofa lalu perlahan ia membuka mata dan mengerjapkan matanya berkali-kali berusaha menjernihkan pandangannya yang masih kabur. Vivian seketika melotot kala menemukan wajah Aldino yang berada tepat di hadapannya.

"Pa-pak Aldino...?"

Aldino menjauhkan wajahnya. "Saya anter pulang. Ini udah malem."

"Nggak usah, Pak! Saya bisa pulang sendiri." Vivian terburu-buru bangkit dari sofa. "Kalau gitu, saya permisi," lanjut Vivian lalu mengangguk memberi salam pada atasannya. Baru beberapa langkah Vivian berjalan, langkahnya langsung terhenti ketika dirinya merasakan ada sebuah tangan yang menahan lengannya dengan kuat.

"Saya udah bilang, saya yang anterin kamu pulang. Saya nggak menerima penolakan! Saya udah bilang ini dari tadi pagi kan?!" ujar Aldino sinis.

Vivian tidak dapat melawan lagi jika Aldino sudah berbicara dengan nada dan tatapan yang mengerikan begitu. Ia hanya bisa diam, membiarkan Aldino menarik tangannya untuk keluar dari ruangan itu.

* * *

Mobil Aldino berhenti tiba-tiba di tengah kemacetan jalan raya. Sebenarnya hal seperti ini bukanlah hal yang jarang terjadi, kota ini memang selalu macet bahkan saat larut malam begini. Terkadang Vivian suka kesal sendiri setiap malam karena waktunya tersita di tengah kemacetan Kota Jakarta.

Vivian menghela napas berat sambil menatap kesal pada deretan mobil di depannya. "Duh, macet mulu!" Vivian menggerutu dengan volume kecil, namun tampaknya suara kecilnya itu masih dapat terdengar oleh Aldino.

Aldino tersenyum tipis. "Kamu kesel sekarang?"

Vivian mengalihkan pandangannya pada cowok yang duduk di sampingnya." Ah, bukan gitu, Pak."

"Kamu bisa tidur kalau mau."

Vivian menggeleng cepat. "Saya nggak ngantuk kok, Pak."

"Ini masih lama. Yakin nggak mau istirahat dulu? Kamu tenang aja, di sini aman. Kamu perlu khawatir seandainya sekarang kamu lagi naik taksi," ujar Aldino.

Vivian menggeleng lagi. "Lebih baik saya turun di sini aja. Apartemen saya nggak gitu jauh dari sini kalau jalan kaki. Bapak nggak perlu repot-repot nganterin saya, apalagi sekarang lagi macet kayak gini. Istri Bapak pasti udah nungguin Bapak di rumah. Saya juga nggak mau istri Bapak jadi salah paham..."

Hening beberapa saat.

Mata Vivian melirik ekspresi Aldino yang sepertinya tidak suka dengan perkataan Vivian barusan. Apa dia salah bicara? Perasaan, dia berbicara seperti biasanya. Apa yang salah dengan perkataannya tadi?

"Kami menikah karena dijodohkan."

Seketika Vivian membeku di atas jok mobil. Jadi pernikahan mereka hanyalah perjodohan?! Vivian memilih untuk diam, dia tidak berani buka suara. Lagipula dia juga bingung harus menjawab apa.

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang