BAB 28

39.4K 2.2K 65
                                    

Kesal karena Vivian tak setuju perihal meliburkan seluruh karyawan, alhasil sejak tadi Aldino malah mengerutkan bibirnya sambil memberi tatapan sebal pada Vivian yang pura-pura sibuk merapikan ruangan kerja Aldino. Ditambah kejadian tadi pagi saat Deyra memergoki aksi mereka juga membuat Aldino dan Vivian bingung. Vivian bingung memikirkan jawaban yang tepat untuk diberikan pada Deyra nanti. Sementara Aldino, ia bingung mengapa tetangga kekasihnya itu harus datang di waktu yang tidak tepat dan mengganggu kegiatan mereka.

Masih memegang sebuah buku terakhir untuk dimasukkan ke dalam rak buku, Vivian melirik Aldino sekilas lalu terkekeh pelan karena muka cowok itu sudah hampir menyerupai bebek.

"Udah sih, mending kerjain kerjaan kamu. Jangan cemberut mulu! Jelek tau!" ejek Vivian.

"Vi, lebih baik kita libur aja. Terus kita jalan-jalan dan—"

Vivian memutar badannya hingga menghadap Aldino yang duduk di balik meja kerja, kemudian ia melipat kedua tangannya di depan dada sambil menatap Aldino sinis. "Aku bilang, aku nggak mau! Kerjaan kita masih numpuk. Belum lagi hari ini ada rapat penting. Masa harus dibatalin?!"

Aldino terdiam, dia tidak berani melawan jika Vivian sudah ngomel begini. Jika dia melawan, bisa-bisa omelan Vivian akan semakin panjang hingga membuat kuping Aldino panas. Pandangan Aldino seketika tertuju pada ponsel ketika layarnya menyala dan menampilkan nama ibunya di sana. Pria itu mengernyitkan keningnya sesaat. Anne sangat jarang menghubungi Aldino, paling hanya satu dua kali saja. Kenapa sekarang tiba-tiba menelepon?

Tak mau ambil pusing, Aldino langsung menggapai ponselnya dan menempelkannya di samping telinga. "Halo, ma?"

"Al... Gimana kerjaan kamu? Lancar?" suara dari seorang wanita berumur terdengar di seberang sana.

"Hm," Aldino berdeham singkat, jawabannya terdengar tak niat.

"Gini... ada hal yang mau mama tanyain."

"Apa?"

"Kamu... beneran mengurus surat perceraian untuk menceraikan Salsha?"

Aldino tak langsung membalas, matanya melirik menatap Vivian yang kini sibuk merapikan beberapa barang-barang di dalam ruangan Aldino. "Iya..." Aldino akhirnya menyahut.

"Al... Kenapa kamu ngelakuin itu? Pernikahan kalian sudah direncanakan dari dulu, terus kenapa kamu kayak gini? Kamu bikin papa sama mama kecewa!"

"Kecewa? Selama ini semua kemauan kalian selalu aku turutin! Sampai kapan aku harus terus kayak gini?! Ini hidup aku, aku berhak menentukan keputusan aku sendiri! Jangan bilang kalian kecewa kalo kalian belum tau seberapa besar rasa sakit yang udah aku tahan sampai sekarang!" Aldino berbicara dengan nada sengit. Emosinya hampir saja pecah, tetapi masih berusaha ditahan karena Aldino tahu jika sekarang ia sedang berbicara dengan orangtuanya.

Sedangkan Vivian, tubuhnya membeku di pojok ruangan setelah mendengar perkataan Aldino. Matanya sedikit melirik ke arah Aldino yang kini mencoba mengatur napas dengan satu tangan yang terkepal kuat, Vivian tahu amarah Aldino pasti sedang meluap-luap sekarang.

"Al, kenapa kamu bentak-bentak mama?! Kamu berubah pasti karena cewek itu! Vivian. Bener kan?!"

"MA!" bentakan Aldino langsung membuat tubuh Vivian tersentak serta bulu kuduknya meremang seketika.

"Kalau karena Vivian kamu jadi kayak gini, mama nggak akan segan menyakiti perempuan itu!"

Aldino membisu. Apa yang harus dia lakukan? Dia tahu betul bagaimana karakter ibunya. Jika kemauan wanita itu tidak terpenuhi, dia bisa melakukan apa pun juga sampai sesuatu yang nekat pun akan ia lakukan. Aldino tidak ingin suatu hal buruk terjadi pada Vivian. Jika semua itu terjadi karena ulah Anne, seumur hidupnya mungkin Aldino hanya akan dihantui rasa bersalah.

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang