BAB 37

46.4K 2K 85
                                    

Sirine ambulan berbunyi nyaring ketika mobil ambulan memasuki halaman rumah sakit. Dengan gesitnya, para petugas rumah sakit keluar dari mobil ambulan seraya mengangkat keluar sebuah brankar, di atasnya ada seorang lelaki yang sekujur tubuhnya telah dilumuri banyak darah segar. Bersamaan dengan para petugas rumah sakit, Vivian ikut keluar dari mobil ambulan dan berlari cepat mengikuti brankar yang membawa Aldino menuju IGD.

"Al... " Vivian melirih pelan dan masih menangis dengan perasaan takut yang tak henti-hentinya menggentayangi hati dan pikiran. Langkah Vivian terhenti, dia berdiri tepat di depan pintu ruang IGD ketika pintunya telah ditutup rapat. Vivian ingin masuk dan menemani Aldino, tapi tidak bisa.

Ia lantas berjongkok di depan pintu IGD, menenggelamkan wajahnya di antara kedua lutut lalu menangis hingga sesenggukan. Tubuhnya bergetar hebat dan terus meraung keras, tak peduli lagi dengan tatapan orang-orang terhadap dirinya yang mungkin dianggap seperti seseorang yang kehilangan akal. Toh, itu memang benar. Vivian tengah kehilangan akal, tidak tahu harus bagaimana dan harus bersikap seperti apa. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah mengucapkan deretan doa kepada Tuhan sambil berharap Tuhan masih berbaik hati dan tidak mengambil Aldino sekarang. Karena... Vivian belum siap.

"Vi..." panggilan seseorang membuat Vivian berhenti dari tangisannya sejenak. Ia menengadah dan menemukan sosok perempuan cantik dengan rambut indah terurai dan juga mata sembap sama seperti dirinya. Dia Salsha. Vivian memang sempat menghubungi Salsha saat berada di dalam perjalanan tadi.

"Salsha..." suara Vivian bergetar, matanya memerah dan terasa perih karena air mata yang terus menggenang sampai membuat pandangannya sedikit kabur. Vivian mengedipkan matanya sekali, ingin menjernihkan pandangan. Tetapi, hal itu malah membuat air matanya makin tumpah ruah.

Salsha mendekat satu langkah dan ikut berjongkok di samping Vivian. Ia menyentuh pundak Vivian seolah ingin menyalurkan kekuatan pada cewek itu, meski sebenarnya keadaannya juga sama seperti Vivian. Hatinya juga hancur lebur setelah melihat suaminya dalam kondisi separah itu.

Vivian menundukkan kepalanya. "Ini semua salah aku! Kalau aja tadi dia nggak ngelindungin aku, Aldino nggak akan kayak gini!!" Vivian memukul kepalanya berkali-kali, menyalahkan dirinya sendiri.

"Udah, Vi. Udah!" Salsha menggeleng kuat lalu menahan tangan Vivian. Ia merengkuh tubuh Vivian dari samping dan ikut terlarut dalam tangisan. "Ini bukan salah kamu. Kamu nggak salah, Vi..."

"Tapi aku yang udah bikin Aldino jadi kayak sekarang! Aku orang jahat, Sha! Jangan peluk aku! Aku nggak pantes dipeluk!" Vivian meronta ingin melepaskan diri dari pelukan Salsha, tetapi yang memeluk malah semakin mengeratkan pelukannya.

"Vi, jangan kayak gini! Kita harus sama-sama kuat. Buat Al..."

Vivian tak menjawab lagi, hanya menangis dan terus menangis hingga tak bersuara. Rasa sakit, takut, khawatir, dan segala perasaan emosional lainnya ia simpan baik-baik di dalam hati, dengan harapan situasi akan lebih membaik jika ia bersikap tenang dan menunggu kepastian dari Tuhan.

* * *

Vivian mengernyitkan kening, bingung mengapa dia tiba-tiba bisa berada di tempat ini, gedung kantor tempatnya bekerja. Bedanya, ruangan tempatnya berdiri sekarang benar-benar kosong tak ada satu pun benda yang masuk ke dalam pandangannya. Tak ada meja, kursi, atau pun interior-interior lainnya. Ke mana perginya semua barang-barang itu?

Di sini juga begitu sunyi tak terdengar sekecil pun suara yang merasuki telinga, hanya ada suara kicauan burung yang begitu menenangkan dari luar gedung. Mata Vivian melirik ke kanan dan kiri sambil terus berjalan hingga sampai di koridor kantor. Matanya memerhatikan sekelilingnya yang benar-benar sepi, tak ada karyawan, tak ada Aldino, dan tidak ada pengunjung yang selalu meramaikan kantor seperti biasanya. Tak ada seorang pun di dalam sana kecuali dirinya.

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang