EPILOG

85.2K 2.4K 559
                                    

Sebelum lanjut baca, aku mau kasih tau, bahwa cerita 'The Third Person' sudah tidak dicetak menjadi buku lagi.

Kenapa? Karena dengan penerbit sebelumnya, aku merasa dirugikan. Sebab aku yang capek bikin naskah, tapi gak dapat sepeserpun hasil dari karyaku sendiri :')

Kerjaan penerbitnya pun sangatlah tidak profesional. Maaf aku harus bilang ini, karena aku kecewa.

Maka dengan itu, naskah 'The Third Person' sudah aku tarik atau istilah lainnya BATAL TERBIT.

Sementara menunggu mendapat penerbit yang lebih baik, semua part cerita ini SUDAH LENGKAP LAGI ya!

Yang kemarin sempat aku hapus demi kepentingan penerbitan, sekarang sudah bisa dibaca lagi 🥰

Happy reading, dan mohon doanya agar cerita 'The Third Person' mendapat penerbit yang jauh lebih baik 🤍

•••

Sambil berbicara dengan ponsel di samping telinga, Vivian berjalan anggun bersama senyuman yang merekah di wajah manisnya. Sesekali ia mengangguk membalas sapaan dari para karyawan lain ketika ia baru memasuki lobby perusahaan Wilfred Group. Vivian begitu antusias karena hari ini adalah hari pertamanya bekerja setelah berbulan-bulan hiatus.

"Aku baru sampe kantor nih!" kata Vivian, berbicara dengan seseorang di balik panggilan. "Kamu di mana?"

"Aku juga baru sampe, masih di parkiran."

Vivian tersenyum manis lalu melangkah masuk ke dalam lift. "Ya udah, sampai ketemu di ruangan kamu ya..."

"Vi-vivian... A-aku—" tiba-tiba suara Aldino terdengar terbata-bata dan sedikit bergetar dari balik telepon, membuat tubuh Vivian menegang serta jantungnya mulai berdegup kencang.

"Kamu kenapa?!" panik Vivian.

"Dada aku— t-tolong..."

Mendengar itu, Vivian secepatnya menekan tombol di dinding lift untuk kembali ke lantai dasar kantor. "Al! Kamu kenapa?!"

"Tolong aku, Vi... Aku nggak bisa nafas."

"Okay, okay. Sekarang kamu tenang. Coba ikutin kata-kata aku, ya?" Vivian melirik hall indicator yang menampilkan posisinya sekarang. Di lantai 5. Lift ini malah bergerak naik. Masih ada sekitar tujuh orang di dalam sini, barulah lift ini akan turun kembali ke lantai dasar. Itu artinya, masih lama pula bagi Vivian untuk turun dan menemui Aldino.

"Al, kamu tarik napas kamu pelan-pelan dan jangan panik. Okay? Kamu bisa kan?" di seberang sana, Vivian tak mendengar jawaban sama sekali. "AL?! KAMU KENAPA?!" Vivian berteriak nyaring, membuat dirinya langsung menjadi perhatian seluruh penghuni lift. Ada yang menatap dirinya dengan tatapan yang seolah-olah memberikan pertanyaan seperti, mengapa? dan ada apa? Tetapi tak ada yang berani untuk bertanya langsung.

"Al, kamu bisa denger aku kan?!" Vivian menyentuh pelipis sambil menggigiti bibir bagian bawahnya, gelisah. Ingin rasanya ia membuka paksa lift ini dan secepatnya menghampiri Aldino.

"Vivian..." Aldino memanggil dengan suara lemas.

"Iya, kenapa? Kamu kenapa?" tanya Vivian, melirih.

"Aku..." Aldino menjeda sebentar, mengatur kalimatnya yang terbata dan suara bergetar nan lemah. "Aku sayang kamu. Jaga diri kamu baik-baik, ya..."

Vivian menggeleng kuat, kedua matanya mulai berkaca-kaca dan genangan air mata itu siap untuk turun dari tempat semula. Perasaan takut yang pernah menghampirinya dulu kini kembali ia rasakan, bahkan ketakutan ini merasukinya beratus-ratus kali lipat lebih hebat dari sebelumnya. Saat semua keadaan telah membaik dan waktu seakan memberi harapan, kenapa semua harapan itu seolah ditarik lagi secara paksa? Apa dirinya mempunyai kesalahan besar sampai harus menanggung semua ini?

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang