BAB 6

69.9K 4.3K 51
                                    

Vivian berjalan keluar dari kamar mandi dengan sebuah handuk kecil membungkus rambutnya yang basah. Ia berjalan ke arah kasur dan duduk di tepi kasur seraya mengernyit dalam. Setelah mengantarkan Aldino yang mabuk ke kamarnya, Vivian memilih untuk langsung membersihkan diri. Dan sampai sekarang pun perkataan Aldino tadi masih berputar di otaknya. Apa perkataan atasannya tadi memang hanya sebuah gumaman tidak jelas karena lelaki itu mabuk? Atau sebenarnya ada artinya? Entahlah, Vivian pusing.

Vivian menghembus napas berat lalu beralih mengambil ponselnya di atas nakas saat benda itu berdering. Mulut Vivian sedikit terbuka ketika melihat nama ayahnya yang tertera di layar ponsel. Vivian hendak mematikan, tetapi takut jika ayahnya khawatir dengan keadaannya. Untuk kesekian kalinya Vivian menghela napas berat lalu akhirnya dia mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, pa?"

"Vivian... Gimana kabar kamu?" tanya Reyfan, ayahnya.

"Baik, pa..."

"Terus gimana kuliahnya di Jakarta? Temen-temennya gimana? Seru?"

Vivian terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak mungkin memberikan jawaban jujur kan? Tetapi dirinya juga terlalu merasa bersalah jika harus berbohong. Ah... Vivian terlalu bimbang.

"Vivian... Kok diem aja? Kamu baik-baik aja kan?"

"I-iya, pa... Aku baik-baik aja."

"Kok suara kamu kedengeran sedih gitu? Kamu sakit? Atau uang jajan kamu kurang?"

"Nggak, pa. Aku baik-baik aja. Dan... Di sini juga semuanya baik-baik aja."

Di seberang sana Reyfan terdengar menghela napas lega. "Syukur deh... Kalo kuliah kamu gimana? Semuanya lancar kan?"

"Lancar kok," Vivian berusaha menjawabnya dengan tenang.

"Kalo kamu merasa nggak nyaman di sana, pulang aja ya... Papa bakalan jemput kamu."

"Iya, pa... Udah dulu ya, aku mau tidur."

"Okay, sayang... Good night."

Sambungan telepon terputus.

Senyuman Vivian yang selalu terukir seharian ini mendadak luntur begitu saja. Dia terpaksa harus berbohong pada ayahnya. Vivian tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kan? Reyfan pasti akan marah besar. Selama ini, Reyfan selalu ingin Vivian menjadi seorang dokter dan menjadi penerus rumah sakitnya di Yogyakarta, namun bukan itu yang Vivian inginkan. Vivian tidak pernah tertarik dalam dunia medis dan dia lebih suka dengan kegiatannya sekarang.

Jika Vivian mengatakan yang sebenarnya, Reyfan pasti akan memaksanya untuk kembali ke Yogyakarta. Vivian sudah tidak sanggup jika harus bertemu dengan Irene, ibu tirinya yang selalu memperlakukan Vivian dengan buruk. Bagi Vivian, Jakarta jauh lebih baik daripada kampung halamannya sendiri. Dan dia tidak pernah berniat untuk pulang.

"Sorry, pa..." cewek itu membatin dan langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur.

* * *

Vivian membuka matanya perlahan. Seketika itu juga dia langsung meloncat dari ranjangnya dengan mulut terbuka lebar dan mata melotot sampai ingin keluar. Vivian panik ketika melihat jam di layar ponselnya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi dan Vivian baru saja bangun dari tidurnya yang lelap.

"AKU TELAAAT!" Vivian memekik panik. Cewek itu segera berlari masuk ke dalam kamar mandi dengan jantung berdegup kencang. Vivian sangat panik bercampur takut. Dia takut jika harus kena omelan Aldino akibat terlambat bangun.

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang