BAB 30

42.3K 2.1K 78
                                    

Memerhatikan orang-orang lalu-lalang adalah kebiasaan hampir setiap orang kala duduk sendirian. Meresapi kesepian dalam keramaian dan menikmati kerasnya perlakuan dunia yang seolah tak ada habisnya. Salsha sadar bahwa dirinya tidak pernah seberuntung wanita lain di luar sana.

Di antara banyaknya perempuan yang ada di dunia, tampaknya ia tidak termasuk sebagai golongan perempuan beruntung. Entah karena semesta memang tidak menginginkannya atau bagaimana, Salsha juga tidak mengerti. Hanya saja, dia lelah. Ingin mengakhiri tetapi terlalu takut. Ingin pergi, tapi masih sayang. Dan ingin menghilang, tapi tahu bahwa sekarang bukan waktu yang tepat.

Salsha sering kali memikirkan perasaan orangtuanya jika suatu saat tahu bahwa Aldino telah menyakiti dirinya. Bukan menyakiti secara fisik, tetapi secara batin. Luka fisik mungkin masih bisa disembuhkan. Namun, apakah luka batin dapat disembuhkan? Hanya waktu yang tahu. Salsha tidak ingin orangtuanya juga ikut kepikiran tentang masalah yang sedang ia hadapi sekarang. Orangtua mana yang tidak kepikiran saat tahu suami anak perempuannya berselingkuh.

Menghela napas, Salsha meraih ponsel yang sedari tadi berdering di atas meja cafe. Hanya dengan membaca namanya saja rasa sesak pada dada Salsha kembali menusuk, ia merasa dunianya rubuh, berbeda seperti dulu. Hanya karena satu nama Salsha berusaha bertahan dalam kesakitan ini. Namun, orang itu bahkan tidak memedulikannya atau bahkan sekadar melirik padanya. Orang yang membuatnya bertahan, malah memilih perempuan lain.

Bertahan dalam perihnya pernikahan tanpa cinta, tak pernah dipedulikan, tak pernah dihargai. Dan sekarang apa? Haruskah ada orang ketiga juga yang perlu menghancurkan dirinya hingga hancur berkeping-keping? Kalau dipikirkan lagi, ternyata sekejam inilah perlakuan dunia terhadap dirinya.

"Kenapa...?" Salsha menempelkan benda pipih tersebut di samping telinga.

"Salsha, saya mau ketemu kamu sebentar. Ada yang mau saya bicarakan."

Salsha memutar cangkir kopi di tangannya. "Aku lumayan sibuk hari ini. Ngomong di sini aja."

Akhir-akhir ini wajah Salsha terlihat lebih murung dari biasanya. Tidak tampak lagi keceriaan dan wajah mudah tersenyumnya pada setiap orang. Yang tersisa hanyalah mata sendu dan merah yang tak pernah berhenti berkaca-kaca. Keramahan dan kehangatan yang ada di dalam dirinya juga seolah menghilang entah ke mana. Salsha berubah menjadi sosok yang dingin dan irit tersenyum, seperti ada kesedihan dan luka yang ia simpan di dalam dirinya.

"Salsha," lelaki di balik panggilan memanggil lagi. 

"Al, kalo kamu mau ketemu sama aku cuma buat bicarain perceraian, aku nggak akan mau ketemu sama kamu! Udah, cukup. Aku nggak keberatan kalo kamu memang mencintai perempuan itu, tapi tolong jangan berpisah..." Air mata Salsha lagi-lagi mengalir turun sampai membanjiri kedua pipinya.

Di seberang sana terdengar suara helaan napas, kemudian Aldino kembali melanjutkan perkataannya, "Tenangin diri kamu dulu, baru kita bicara. Saya tutup teleponnya."

Sambungan telepon terputus.

Salsha masih duduk diam di atas bangku, bersama air mata yang terus keluar tanpa henti. Napasnya terdengar tak beraturan, bibir cantiknya tertutup rapat dan tidak mampu lagi mengukir senyuman manis seperti biasanya. Hatinya terlalu terluka hingga tidak bisa lagi menutupi semua kesedihan ini. Sampai kapan dia harus menunggu hingga Aldino bisa membalas perasaannya? Bukankah dia sudah terlalu lama menunggu?

* * *

Vivian melangkahkan kakinya menyusuri lobby perusahaan Wilfred Group sambil memegang ponsel di samping telinga, tampak sibuk berbicara dengan seseorang yang entah siapa di seberang sana.

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang