Aldino terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit dengan beberapa alat medis yang menempel di tubuhnya. Sejak tadi, Salsha yang duduk di samping ranjang rawat hanya bisa menangis tersedu-sedu sebab kondisi Aldino sekarang. Detik selanjutnya Salsha secepatnya menyeka air mata yang membanjiri kedua pipinya lalu tersenyum senang kala kelopak mata Aldino terbuka secara perlahan."Al... Kamu udah bangun?" Salsha terlihat begitu antusias.
Aldino tak menjawab, ia mengerutkan kening lalu menyentuh kepalanya yang masih terasa berat. Sebenarnya tubuhnya juga masih lemas, tapi hanya karena satu nama ia ingin sekali beranjak bangkit dari ranjang rawat dan secepatnya pergi meninggalkan tempat ini. Hanya karena Vivian, Aldino seolah tak peduli lagi tentang kesehatan tubuhnya sendiri dan berniat pergi meninggalkan kamar rawatnya untuk bertemu Vivian. Baginya, Vivian jauh lebih penting dari kondisinya saat ini. Karena Aldino merindukan Vivian. Sangat amat merindukannya.
"Al, jangan!" Salsha memekik nyaring saat tangan Aldino yang lain ingin mencabut infusan yang menempel pada tangan kanannya.
"Saya mau ketemu Vivian!" Aldino mengeraskan suara.
"Tapi kondisi kamu belum bener-bener pulih, Al... Kalau kondi—"
"Saya nggak peduli!" cetus Aldino. "Kamu nggak ada hak untuk melarang saya! Saya mau menemui Vivian sekarang."
"Al... Tolong nurut sama aku sekali aja," mohon Salsha.
"Nggak bisa!" balas Aldino, kemudian ia meringis pelan ketika berhasil mencabut infusan tersebut secara cepat dan kasar. Membuat cairan infus malah membasahi permukaan ranjang serta beberapa tetes darah segar yang tampak menyeramkan bila dipandang.
"ALDINO!!" pekik Salsha, sangat panik. "Kamu kenapa keras kepala banget, sih?!"
"Saya mohon, biarin saya ketemu sama Vivian. Tolong kirimkan alamat Vivian sekarang," Aldino berujar lemas. Bahkan bibir pucat itu masih senantiasa menghiasi wajah gantengnya.
Salsha tak menjawab dan malah menundukkan kepala bersamaan dengan air matanya yang kembali terjatuh hingga ke lantai. Salsha tidak akan bisa melarang Aldino jika sudah begini. Sekeras apa pun Salsha melarangnya, Aldino akan tetap melakukan kemauannya. Dan sekarang, ia hanya bisa terdiam pasrah menyaksikan suaminya yang perlahan melangkah meninggalkan ruangan ini. Sekeras apa pun Salsha mencoba untuk menghalangi Aldino, jika ini sudah berhubungan dengan Vivian, Aldino tidak akan mau menuruti perkataannya.
Salsha menarik napas dalam-dalam sambil isakannya sesekali terdengar. Perasaan sakit dan terluka itu kembali menghujam hati Salsha, sakit saat melihat orang yang ia sayang lebih memilih perempuan lain dibandingkan kesehatannya sendiri. Dan terluka menyaksikan suaminya sendiri begitu mencintai perempuan lain bahkan rela mengorbankan nyawanya hanya untuk Vivian. Segalanya semakin terasa sulit untuk diterima.
Sekarang, rasa bimbang dan dilema mulai menghantui Salsha. Haruskah ia terus mempertahankan Aldino, atau seharusnya hubungan ini disudahi saja?
* * *
Aldino menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah gerbang rumah mewah nan megah dengan desain yang begitu elegan bak istana. Gerbang tinggi yang biasanya tertutup rapat itu kini tampak terbuka lebar, dan inilah kesempatan emas yang tidak boleh dilewatkan Aldino.
Dengan jarak yang cukup jauh, Aldino rela menempuh perjalanan hanya dengan berjalan kaki bersama sebuah alamat yang sudah dikirimkan Salsha sebagai petunjuk untuk dirinya sampai ke tempat ini, lantas hal itu membuat kondisinya seperti semakin memburuk bahkan bisa dibilang sangat buruk. Wajah Aldino tampak sangat pucat, lebih pucat dari sebelumnya. Bibirnya juga sedikit membiru, serta mata memerah yang sedikit memanas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Third Person ✔
RomanceVivian pasti sudah gila! Tidak mungkin dia mencintai atasannya yang sudah beristri. Bekerja sebagai sekretaris seorang CEO super ganteng dan beribawa seperti Aldino Wilfred adalah posisi yang paling diidamkan oleh seluruh kaum hawa. Namun ternyata...