BAB 22

41.9K 2.6K 127
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun cewek dengan rambut panjang digulung tinggi ke atas itu masih tampak sibuk mengepel ruang tengah apartemennya sambil bersenandung pelan. Sesekali ia beralih pada ponselnya untuk membalas pesan dari kekasihnya. Vivian tersenyum lebar kala membaca pesan yang masuk dari Aldino. Entah mengapa, malam ini terasa beratus-ratus kali lipat lebih menyenangkan daripada biasanya. Mungkin karena kali ini Vivian membersihkan apartemen sambil ditemani pesan-pesan dari Aldino.

Vivian menyandarkan pel tersebut pada dinding kemudian meraih sebuah gelas berisi minuman dingin bersoda yang tadinya berada di atas meja. Ia menenggak meniuman tersebut hingga sisa setengah gelas lalu perhatiannya beralih pada pintu apartemen saat mendengar bel yang berbunyi nyaring. Vivian meletakkan kembali gelas itu di atas meja dan berjalan terburu-buru menuju pintu utama tempat tinggalnya.

Dengan senyuman manis nan ramah, Vivian membuka pintu apartemen. "Iya, sia-"

Ia seketika mematung di ambang pintu ketika matanya menemukan sosok wanita cantik dengan wajah tegas dan elegan yang menjadi tamunya malam ini. Jika tahu begini, Vivian tidak akan mau membukakan pintu bagi seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Yang ada, orang ini hanya akan membuat mood Vivian rusak saja.

"Hai, Vi..." sapa wanita bernama Irene itu sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam sana.

"Tunggu!" nada bicara Vivian terdengar sedikit membentak.

Irene tersenyum lalu berbalik menatap Vivian. "Kenapa?"

"Aku nggak izinin kamu masuk. Jadi, lebih baik kamu pergi sekarang!"

Irene terkekeh, dia melangkah mendekat ke arah Vivian lalu mengusap pundak anak tirinya dengan lembut. "Apa aku masih perlu izin dari kamu? Ini rumah anak kesayangan aku kan? Kenapa aku harus minta izin dulu?"

"Irene! Keluar sekarang!" bentak Vivian, geram.

Irene tak menanggapi perkataan Vivian. Dia hanya tersenyum sinis sambil terus memandangi setiap sudut apartemen Vivian dengan teliti. Wanita itu berjalan semakin jauh menyusuri apartemen tersebut sambil sesekali meraba beberapa barang yang ada di dalam sana. Entah apa yang sedang dia lakukan sekarang, Vivian juga tidak mengerti.

Irene menghentikan langkahnya dan kembali menatap Vivian. "Jadi, kamu tinggal di apartemen kecil ini?"

Vivian menghembus napas panjang, mencoba bersabar dengan kelakuan Irene. "Keluar."

Irene lagi-lagi tersenyum sinis. "Aku penasaran, gimana ya reaksi papa kamu kalo tau dengan apa yang terjadi sebenernya?"

Vivian tak berani buka suara lagi. Irene bisa saja dengan mudah melaporkan segalanya pada Reyfan, ayahnya. Vivian tidak tahu lagi harus beralasan apa jika wanita itu benar-benar melaporkannya pada Reyfan.

"Vi... Kenapa kamu bohong sih? Kuliah?!" Irene tertawa geli lalu melanjutkan perkataannya, "Bullshit!"

"Irene... Please keluar. Aku lagi nggak pengin ketemu sama kamu!"

"Kenapa? Kamu takut?" Irene menyeringai. "Tenang aja, Vi. Aku nggak akan laporin semua ini ke papa kamu kalo kamu mau mengundurkan diri dari perusahaan Aldino, dan berhenti mengganggu pernikahan Salsha dan Aldino."

Vivian menegang selama beberapa saat dengan jantung yang berdetak dengan sangat cepat. Bagaimana bisa Irene mengetahui hal itu?! Apa Salsha sudah menceritakan semuanya pada Irene?

"Aku sih cuma kasih peringatan aja. Jangan sampe kamu nyesel nantinya." Irene mengusap wajah mulus Vivian sambil tersenyum tipis, tetapi tampak menakutkan di mata Vivian. "Pikirin baik-baik ya perkataan aku... Bye, anak kesayangan!" katanya lalu melesat pergi meninggalkan apartemen Vivian begitu saja.

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang