BAB 17

52.5K 2.9K 141
                                    

Dress panjang berwarna hitam serta heels tinggi menjulang yang ia kenakan semakin menambah kecantikan perempuan bernama Claire Anasalsha Tamara, biasanya dipanggil Salsha. Namanya cantik bukan? Ya, sesuai dengan wajahnya yang lembut dan rupawan. Dia duduk sendirian di dalam sebuah restoran mewah dengan alunan musik yang terdengar begitu menenangkan. Salsha menatap kosong ke arah jendela besar restoran, dia termenung seraya memandangi setiap tetesan air hujan yang turun. Salsha seketika mengalihkan perhatian pada bangku di seberangnya saat seorang gadis lain duduk di sana.

Salsha tersenyum manis. "Udah dateng?"

"Kamu udah lama nunggu? Maaf ya, tadi pagi pesawatnya delay."

Salsha mengangguk mengerti. "It's okay..."

Perempuan yang kini duduk di hadapan Salsha itu bernama Avairene Bella atau kerap dipanggil Irene, wanita cantik yang selalu bergaya mewah dan elegan. Seperti sekarang, bahkan jumpsuit merah gelap yang dia pakai ini harganya bisa saja menyaingi harga sebuah mobil. Irene dan Salsha memang sudah lama berteman, mungkin bisa dibilang mereka sudah seperti saudara saking dekatnya.

Irene mengukir senyuman lebar. "I really miss you, Sha!"

"Me too..." Salsha membalas. "Udah lama banget ya kita nggak ketemu. Gimana kabar kakak sama suami kakak di Jogja?"

Ekspresi Irene berubah dengan cepat, yang tadinya tersenyum kini menjadi ekspresi sinis dan terkesan ketus jika dilihat. Wanita itu menghela napas berat. "Kamu tau kan, aku nikah sama bapak-bapak tua itu cuma karena uangnya. Aku pasti cerain dia kalau aku udah bisa mengambil alih rumah sakit dia di Jogja. Umur kita beda jauh, Sha... Nggak banget deh!" ujar Irene, wajahnya menunjukkan tampang tak merasa bersalah sedikit pun.

"Kak Irene... Udahlah, jangan kayak gitu. Kalau kakak butuh uang, kakak bisa minjem sama aku. Kakak nggak perlu nyiksa diri kayak gini sampai mau nikah sama orang yang nggak kakak cinta. Apalagi, umur kalian beda jauh." Salsha ikut prihatin.

Irene tersenyum lembut. "Sha... Kamu tuh udah terlalu banyak bantuin aku. Aku nggak mau ngerepotin kamu lagi."

"Tapi, kalau kakak butuh, aku siap bantuin kakak kapan aja!"

Irene meraih tangan Salsha lalu mengelus tangannya perlahan. "Makasih, ya... Kamu emang temen yang selalu ada kalo aku butuhin."

Salsha mengangguk, ia ikut membalas senyuman Irene dengan senyuman yang tak kalah cantik. "Terus, gimana sama anak tiri kakak? Kalian akrab kan?" Salsha bertanya penasaran.

Irene terkekeh pelan. "Akrab? That's impossible, Sha! Kalau aku ketemu sama dia, yang ada kita berantem mulu. Tapi untungnya, dia lagi kuliah di sini. Semoga aja aku nggak ketemu sama dia di sini deh... Bisa kacau liburan aku!"

Salsha tertawa geli. "Kenapa kalian bisa sampe berantem? Seharusnya, kalian bisa jadi temen akrab. Umur kakak sama anak tiri kakak cuma selisih sepuluh tahun kan?"

"Dia tau rencana aku yang mencoba mengambil alih rumah sakit papanya. Aku sering ngancem dia biar nggak ngelapor ke bapak-bapak tua itu. Jadi, ya kita berantem terus karena itu anak keras kepala banget kalo dibilangin," jelas Irene.

Salsha tersenyum manis lalu mengangguk mengerti, dia terdiam dan kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

"Gimana kabar Aldino?" tanya Irene tiba-tiba.

Salsha menoleh lagi ke arah Irene kemudian tersenyum paksa. "Baik."

Irene mengernyitkan keningnya seraya menatap ekspresi Salsha yang menurutnya tampak berbeda. "Kalian nggak lagi berantem kan?"

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang