BAB 13

55K 3.2K 142
                                    

Jembatan Golden Gate, San Fransisco, Amerika Serikat.

Delapan tahun yang lalu. Cowok berparas tampan dengan proposi tubuh sempurna itu berdiri di tepi jembatan yang menjadi penghubung antara Kota San Fransisco dan Tanjung Marin. Dengan setelan pakaian berwarna hitam lengkap dengan topi dan masker yang menutupi wajahnya, sesekali Aldino menarik napas dalam. Air matanya terus terjatuh tanpa henti meski dia sudah mencoba menahan tangisnya sebisa mungkin.

Tujuannya sekarang adalah untuk mengakhiri hidup. Kalau ditanya mengapa, mungkin ia akan menjawab karena hidupnya tidak pernah memiliki kebebasan sedikit pun. Selama ini dia hidup dalam tekanan keluarganya. Aldino selalu bertengkar hebat dengan kedua orangtuanya hampir setiap hari karena paksaan dan peraturan ketat yang harus selalu dia ikuti. Dia bahkan tidak boleh membantah semua perkataan orangtuanya. Jika dia membantah, sudah dapat dipastikan Aldino akan mendapat omelan dan hukuman berat dari ayahnya yang super keras itu.

Seperti hari ini, Aldino dipaksa untuk memimpin sebuah perusahaan besar milik keluarganya. Padahal, dia tidak tertarik sama sekali dengan hal itu. Lalu selanjutnya adalah pernikahan atas dasar perjodohan yang akan dilaksanakan enam tahun dari sekarang. Jadi, apa masih ada alasan untuk dirinya hidup? Jika seperti ini, dia hidup hanya untuk orangtuanya. Kapan dia bisa memiliki kebebasan dan menentukan pilihannya sendiri?

Aldino lagi-lagi menghela napas panjang sebelum pada akhirnya berniat melompat dari jembatan itu. Sebelum dirinya benar-benar melancarkan aksi nekatnya, seorang perempuan cantik dengan dress merah muda yang entah dari mana asalnya tiba-tiba berdiri tepat di sampingnya.

"Mau bunuh diri?" tanyanya dengan nada santai.

Aldino masih diam, memilih tak menjawab. Ternyata cewek ini berasal dari negara yang sama dengannya.

"Aku tau kamu orang Indonesia. Nggak mungkin nggak ngerti omongan aku kan?" cewek itu melanjutkan.

Aldino tak menanggapi perkataannya, tetapi kening Aldino seketika mengerut dalam, merasa bingung dengan gadis yang tiba-tiba datang tidak jelas ini.

"Aku Vivian Danica, kamu bisa panggil aku Vivian, Vivi, atau Vi aja." Vivian beralih menatap Aldino lalu kembali melanjutkan perkataannya, "Aku nggak tau apa masalah kamu sekarang, tapi bunuh diri bukan suatu hal yang tepat buat mengatasi semuanya."

"Semua orang di hidup kamu mungkin nggak akan bisa bener-bener ngertiin diri kamu. Cuma kamu yang bisa. Mulai sekarang, coba deh ngertiin diri kamu dan perlakukan diri kamu dengan baik. Masa iya cuma karena hati kamu sakit, kamu rela mengorbankan diri kamu yang jauh lebih penting dari rasa sakit itu?" Vivian mengelus pundak Aldino dengan lembut. "Sekarang giliran kamu buat nentuin mana yang lebih penting, rasa sakit itu atau diri kamu sendiri? Masalah yang kamu hadapi ini cuma salah satu cara dari sekian banyaknya cara semesta untuk lebih mendewasakan kamu."

Vivian tersenyum manis kemudian menyodorkan sebatang cokelat pada pria bermasker hitam di sampingnya ini. "Jangan lupa juga, diri kamu juga sama pentingnya. Jangan nyakitin diri kamu sendiri cuma karena masalah kamu. Aku tau, kamu pasti bisa ngelewatin semuanya. Semangat!"

Walau ragu, Aldino akhirnya menyambut sebatang cokelat yang diberikan Vivian, namun ia masih diam tak mengatakan apapun.

"Kalau gitu, aku duluan ya!" Vivian kembali melemparkan senyuman manis dan langsung melesat pergi meninggalkan Aldino.

Cowok itu menatap sebatang cokelat yang ada di genggamannya kemudian beralih menatap Vivian yang perlahan menghilang dari pandangan. "Vivian Danica..." gumam Aldino.

Flashback End.

* * *

Sambil duduk di tepi kasur, bibir Aldino mengukir lengkungan ke atas membentuk sebuah senyuman kecil. Kejadian delapan tahun yang lalu itu tidak pernah bisa ia lupakan. Mungkin Vivian memang tidak dapat mengenalinya karena Aldino menutupi wajahnya dengan masker saat itu. Tetapi, Aldino tidak pernah bisa lupa dengan wajah manis Vivian yang membuatnya dapat bertahan sampai sekarang. Bila Aldino merasa tidak sanggup lagi, dia selalu mengingat kata-kata Vivian yang membuat semangatnya bangkit kembali. Dan Aldino bersyukur Tuhan telah mengirimkan malaikat cantik-Nya dalam bentuk Vivian.

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang