BAB 21

46.7K 2.7K 177
                                    

Kening Irene seketika mengerut dalam sambil membuka mulutnya sedikit saat matanya menangkap sosok perempuan cantik berjeans hitam yang kini berlari masuk ke dalam mobil dengan mata sembap. Irene menatapnya dengan tatapan khawatir saat temannya itu sudah duduk di kursi pengemudi.

"Sha... Kamu kenapa? Udah ketemu sama Aldino? Kamu bilang, kamu mau bawain jam tangan dia yang ketinggalan kan?"

Salsha tak menanggapi pertanyaan Irene, dia menghela napas pelan sambil mengusap air matanya lalu menoleh menatap Irene dengan mata sendu. "Kak..." panggil Salsha dengan suara parau sehabis menangis.

"Kenapa?" tanya Irene, begitu khawatir.

"Aldino sama Vivian... ciuman," lirih Salsha. Dia masih berusaha menahan agar tangisnya tidak pecah lagi.

Irene menegang, matanya membulat dengan sempurna dengan satu tangan yang menutup mulut, benar-benar tidak percaya dengan apa yang dikatakan Salsha.

"K-kamu yakin?" Irene memastikan.

Salsha mengangguk lemah. "Aku lihat mereka dengan mata kepala aku sendiri."

"Sha, cerain Aldino sekarang!"

Salsha menggeleng kuat. "Nggak bisa."

"Kenapa? Dia udah nyakitin kamu berkali-kali. Mau berapa lama lagi kamu disakitin kayak gini?!"

"Aku cinta sama Aldino..."

"Jangan bodoh cuma karena cowok itu!" bentak Irene. "Di dunia ini, cowok bukan cuma dia, Sha! Banyak cowok yang jauh lebih baik dari Aldino!"

"Udah, kak... Lebih baik kita pulang sekarang. Aku lagi nggak pengin ngomong," kata Salsha lalu dengan cepat melajukan mobilnya keluar dari halaman parkir gedung perusahaan Wilfred Group.

* * *

Vivian melongo kagum dengan bibir yang mengukir senyuman lebar hingga menampilkan deretan giginya yang rapi, matanya terus memandangi desiran ombak pantai yang terlihat begitu indah sore ini. Entah sudah berapa kali Vivian memuja keindahan pantai dengan pasir putih ini di dalam hati, seindah itulah tempat ini.

Dua buah bangku dan satu meja kecil berada di tengah-tengah pantai, dan tentunya hanya ada mereka berdua di dalam sana. Semua ini memang disiapkan Aldino tanpa sepengetahuan dirinya. Rencana cowok itu memang tidak pernah bisa ditebak. Bahkan Vivian yang selalu berada di dekatnya pun, terkadang masih sering dibuat bingung dengan pemikiran dan rencana Aldino yang tak terduga.

Aldino terkekeh pelan melihat Vivian yang sejak tadi tak berhenti memandang ombak pantai dengan mata berbinar dan ekspresi menggemaskan seperti anak kecil. "Kamu suka?"

Vivian mengangguk antusias. "Suka banget!"

"Ini penghargaan buat kamu."

"Penghargaan? Lagi?!" Vivian melotot.

Ini bukan kali pertama Aldino memberinya penghargaan, mungkin sudah sepuluh kali atau bahkan lebih. Memang dirinya telah melakukan apa sampai selalu mendapat penghargaan begini? Setahunya, ia tidak pernah melakukan hal istimewa. Vivian hanya melakukan pekerjaannya seperti biasa. Lalu untuk apa semua penghargaan yang sudah Aldino berikan ini?

Vivian menghitung jari-jari tangannya kemudian beralih menatap Aldino dengan teliti. "Pak, udah sepuluh kali lebih Bapak kasih saya penghargaan kayak gini. Emangnya saya ngapain sampai bisa dapet penghargaan mulu?"

Aldino terdiam sesaat lalu tersenyum santai. "Karena kamu sekretaris yang baik."

"Bapak yakin cuma itu alasannya?" Vivian memberikan tatapan curiga.

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang