Dengan langkah cepat, Vivian mengikuti Aldino yang sudah berjalan di depannya. Kali ini mereka melangkah memasuki sebuah hotel bintang lima super mewah yang menjadi tempat meeting hari ini. Jangan lupakan para pria bertubuh kekar yang ikut berjalan di belakang mereka. Siapa lagi kalau bukan para bodyguard Aldino?
"Pertemuan dengan klien Jepang di lantai mana?" tanya Aldino pada sekretarisnya.
"Di lantai lima, Pak..."
Aldino menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Hal itu tentu saja membuat Vivian dan para pria berpakaian hitam itu ikut berhenti.
Vivian tersenyum ramah. "Kenapa, Pak?"
"Saya nggak perlu diikutin sama orang-orang baju hitam ini. Urus mereka!" Aldino memberi tatapan sinis pada Vivian, menandakan jika dia benar-benar tidak suka dengan para bodyguard yang terkesan terlalu berlebihan.
"Baik, Pak!"
Aldino mengangguk, dia kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Vivian bersama para bodyguard itu.
"Maaf, lebih baik kalian pergi sekarang. Sesuai dengan kemauan Pak Aldino..." kata Vivian lalu tersenyum lembut setelahnya. "Kalau begitu, saya permisi." Vivian mengangguk memberi salam kemudian berlari kecil untuk menggapai langkah Aldino yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.
Vivian mempercepat langkahnya saat Aldino sudah memasuki lift yang pintunya telah terbuka. Vivian ikut masuk dan berdiri di samping Aldino, tetapi satu langkah lebih mundur dari posisi atasannya. Beberapa orang pria juga ikut masuk ke dalam sana. Lift ini tiba-tiba terasa gerah karena para cowok-cowok itu saling berdesakan sambil masing-masing membawa buket bunga yang begitu besar sampai membuat tubuh Vivian terhuyung ke arah Aldino hingga pipinya menempel pada pundak Aldino.
Aldino melirik Vivian lewat ekor matanya dan tanpa disangka, tangannya langsung menahan pinggang Vivian dan menariknya untuk mendekat. "Hati-hati jatuh," bisiknya.
Tubuh Vivian jelas menegang untuk beberapa detik. Dia lalu menunduk dalam, berusaha menyembunyikan pipinya yang mungkin saja sudah menampilkan semburat merah yang memalukan.
Ting!
Pintu lift terbuka. Cowok-cowok yang membawa buket bunga super besar itu berjalan keluar dari lift, menyisakan Vivian dan Aldino di dalam sana. Setelah pintu tertutup secara otomatis, Vivian langsung menggeser tubuhnya ke ujung lift. Di dalam hati, Vivian merutuki para cowok-cowok yang membuat pipi Vivian menempel pada pundak Aldino seperti tadi.
* * *
Pukul dua belas malam.
Vivian masih senantiasa duduk manis di balik meja kerjanya, pekerjaan menumpuk ini belum juga selesai. Padahal, dirinya sudah begitu lelah dan mengantuk. Rasanya, Vivian ingin sekali pulang ke rumahnya lalu tidur dengan nyenyak. Tapi, mana mungkin dia membiarkan pekerjaannya begitu saja. Sambil makan satu bungkus keripik kentang yang menjadi teman begadangnya malam ini, Vivian sesekali beralih memijit lehernya yang terasa pegal.
"Vivian..." Seseorang melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut.
Secepat kilat Vivian bangkit dari tempat duduknya lalu mengangguk memberi salam pada Aldino. "Iya, Pak?"
"Besok pagi, datang ke rumah saya."
Vivian membulatkan matanya dengan sempurna. Apa lagi ini? Kenapa tiba-tiba atasannya ini memintanya untuk datang ke rumahnya?
"Ke rumah Bapak?"
Aldino mengangguk. "Hm."
"Emangnya ada apa, Pak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Third Person ✔
RomanceVivian pasti sudah gila! Tidak mungkin dia mencintai atasannya yang sudah beristri. Bekerja sebagai sekretaris seorang CEO super ganteng dan beribawa seperti Aldino Wilfred adalah posisi yang paling diidamkan oleh seluruh kaum hawa. Namun ternyata...