BAB 4

74.1K 5K 260
                                    

Pukul delapan malam.

Sesuai dengan jadwal, tujuan mereka malam ini adalah Pulau Bali. Vivian berlari terburu-buru memasuki pesawat pribadi super megah milik atasannya, Aldino Wilfred. Tubuh Vivian mendadak bergetar ketika mendapat tatapan super sinis dari Aldino.

"Kenapa terlambat?" Aldino bertanya dengan ekspresi datar andalannya. Datar, tetapi menyeramkan.

Vivian mengangguk berkali-kali, menunjukkan permintaan maafnya. "Maaf, Pak. Tadi saya harus menyusun beberapa baju-baju saya dan semua data-data perusahaan. Terus...-"

"Sshhtt... Ya udah, diem aja," perkataan Aldino seketika membuat Vivian bungkam, tak berani buka suara lagi. "Duduk!" perintah Aldino lalu matanya kembali menatap lurus ke arah tablet yang dia pegang.

"Baik, Pak." Vivian menurut, kakinya melangkah mendekat dan duduk berseberangan dengan Aldino. Sesekali cewek dengan rambut diikat ala pony tail itu tersenyum sambil mencuri pandang pada Aldino. Entah mengapa sejak kejadian tadi pagi, rasanya dirinya mendadak menjadi penggemar berat Aldino. Dia merasa sangat berterimakasih pada pria itu. Selama ini, belum ada seorang pun yang berhasil menenangkan Vivian dari ketakutannya pada suara keras. Hanya Aldino yang mampu melakukan itu.

"Ada apa sama mata kamu itu? Kenapa ngeliatin saya terus?" Aldino berkata sarkastik.

Vivian yang gugup itu tiba-tiba menjadi salting. Bagaimana Aldino bisa tahu? Padahal, sejak tadi Aldino hanya sibuk dengan layar tabletnya.

"E-enggak kok. Saya nggak ngeliatin Bapak," Vivian gelagapan.

Aldino meletakkan tabletnya di atas meja, kemudian matanya beralih menatap Vivian yang sekarang tiba-tiba salting. "Gimana kondisi kamu? Udah baikan?"

Vivian tersenyum ramah lalu mengangguk cepat. "Udah, Pak! Itu semua berkat Bapak. Makasih, Pak Aldino..."

"Sejak kapan kamu punya ketakutan kayak gitu? Takut dengan suara keras? Saya belum pernah ketemu sama orang kayak kamu."

"Ehm... Sejak beberapa tahun yang lalu."

"Apa yang terjadi sama kamu?"

"Dulu, sekitar lima tahun yang lalu, saya sama mama saya terlibat dalam kecelakaan pesawat. Di dalam sana saya denger suara ledakan yang nyaring banget. Saya pikir saya akan meninggal saat itu juga, tapi ternyata nggak. Yang pergi cuma mama saya dan saya masih bisa diselamatkan." Vivian mengukir senyuman tipis meski sebenarnya senyuman itu tampak sedikit terpaksa. "Dan... Hal itu menjadi trauma berat untuk saya."

Aldino tak menjawab lagi, ia mengambil secarik kertas dan sebuah pulpen lalu memberinya pada Vivian.

Vivian lantas mengernyitkan keningnya bingung. "Buat apa, Pak?"

"Tulis semua tentang diri kamu di kertas ini."

"Hah?!"

"Saya perlu tau semua tentang bawahan saya. Mana mungkin saya memperkerjakan seseorang yang nggak begitu saya kenal?"

Vivian tersenyum manis sebelum pada akhirnya menyambut secarik kertas dan pulpen yang diberikan atasannya. "Oke, Pak." Vivian mulai menuliskan beberapa hal tentang dirinya di atas kertas itu. Mata Aldino terus memerhatikan Vivian yang kini duduk di hadapannya. Tanpa disadari, sebuah senyuman tipis terukir di bibir Aldino.

"Vivian Danica..." gumam Aldino.

Vivian seketika mendongak menatap Aldino. "Iya, Pak?"

Aldino menggeleng. "Nggak papa..."

"Oh... Oke!" Cewek itu melemparkan senyuman manis dan kembali melanjutkan kegiatannya, menulis hal-hal penting tentang dirinya di atas secarik kertas.

The Third Person ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang