Vivian POV
Mobil hitam milik Deyra sudah terparkir rapi di basement apartemen, menandakan si dokter itu sudah pulang dari rumah sakit, tempatnya bekerja. Dan benar saja, saat aku baru masuk ke dalam apartemen, tetanggaku itu sudah tengkurap di atas sofa ruang tengah sambil menonton drama korea lewat ponselnya bersama satu bungkus keripik kentang yang ia ambil sembarangan dari kamar. Seperti biasanya, Deyra memang suka sekali nyelonong masuk tanpa izin. Aku menaruh tasku di atas meja kemudian melirik jam dinding. Jam setengah sembilan malam, aku pulang lebih cepat dari biasanya.
Tanpa menyapa atau menegur Deyra, aku langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku yakin seratus persen jika cewek itu belum menyadari kehadiranku sama sekali. Begitulah Deyra, tidak akan pernah peduli dengan apa yang terjadi di sekitar jika sudah menonton drama korea kesukaannya. Lima belas menit kemudian, aku keluar bersama sebuah handuk kecil yang melilit rambut basahku. Aku mengambil segelas teh hangat kemudian ikut bergabung dengan Deyra di sofa.
"Eh, udah dateng ya? Udah mandi pula. Dari kapan lo di sini?" Setelah seabad, dia baru saja menyadari kehadiranku. Dasar, Deyra!
"Emang dari tadi gue tak kasat mata?" celetukku.
"He... he.. Maap, sist!" Deyra menyengir. "Jadi lo punya pacar?" tanya Deyra sambil memasukkan satu slice keripik kentang lalu menyeruput jus mangga yang sudah pasti dia ambil dari kulkasku.
"Pacar?" Aku menggeleng. "Nggak ada."
Deyra menyipitkan matanya kemudian wajahnya mendekat dengan tampang yang seolah menuduh. "Masa...? Terus, cowok ganteng yang ciuman sama lo tadi subuh, hidungnya mancung, rahangnya tajem, bening, berotot, dan lubang hidungnya juga ganteng itu siapa?" pertanyaan Deyra malah terdengar seperti sebuah deskripsi.
"Apaan sih!" kataku sinis. "Bukan siapa-siapa!" Aku membuang muka.
"Ih, kagak mau ngaku lu ye?"
"Kenapa jadi bahas itu sih? Kejadian tadi pagi itu cuma salah paham."
Deyra terbahak kencang. "Setelah gue liat ciuman panas kalian di atas sofa ini, apa kejadian tadi masih bisa disebut salah paham?" Cewek nyebelin itu menepuk-nepuk sofa yang sekarang menjadi tempat duduk kami, menandakan bahwa sofa inilah yang menjadi tempat terjadinya perkara.
"Pokoknya, semuanya salah lo!" balasku agak ngegas.
Deyra menatapku tak terima. "Lah, ngapa jadi salah gue?!"
"Ngapain juga sih lo dateng subuh-subuh bawa soju sama seblak? Gue kan paginya kerja. Kalo mabok gara-gara soju gimana?"
"Kalo nggak mau minum, ya nggak usah diminum, Bambang! Ribet amat lu!"
Perdebatan kami seketika terhenti ketika suara bel apartemen berbunyi nyaring sampai membuat Deyra meloncat dari sofa dengan gerakan spontan karena kaget. Sementara itu, aku segera bangkit dari tempat duduk untuk membukakan pintu bagi tamu yang datang secara tiba-tiba itu.
Aku melotot ketika baru saja membuka pintu. "Aldino?!"
"Hai! Aku boleh masuk kan?"
Deyra yang kepo dan ribet itu tiba-tiba muncul dari belakangku dan memandangi Aldino dengan teliti dari atas sampai bawah. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi Aldino berubah drastis, yang awalnya tersenyum begitu manis kini berubah menjadi ekspresi bingung ketika menemukan Deyra yang kini makin mendekatkan wajahnya pada wajah Aldino. Dan aku hampir saja memekik nyaring ketika Deyra menangkup kedua pipi Aldino sambil meneliti wajah cowok itu dengan mata melotot ngeri.
"Oh, jadi lo pacarnya Vivi..." Deyra manggut-manggut dengan cengiran kuda khasnya. "Ganteng amat, Vi. Pinter juga lo nyari cowok!"
"Ha... ha... ha... Iya, iya, mundur dulu!" Aku tertawa paksa kemudian secepat mungkin menarik tubuh Deyra hingga kedua tangannya terlepas dari pipi Aldino.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Third Person ✔
RomanceVivian pasti sudah gila! Tidak mungkin dia mencintai atasannya yang sudah beristri. Bekerja sebagai sekretaris seorang CEO super ganteng dan beribawa seperti Aldino Wilfred adalah posisi yang paling diidamkan oleh seluruh kaum hawa. Namun ternyata...