Bagian 22: Reuni

447 48 13
                                    

Lampung, 10 Juni 2020

***

   Karena kesalahpahaman Rio pada Zia yang—berpikir negatif—mengira Zia tengah telfonan dengan seorang pria dengan sebutan sayang. Dan nyatanya orang itu adalah Nayla. Kini berujung dengan Zia yang sedang marah pada Rio.

   “Udah dong marahnya, istri.”

   Sudah berapa kali Rio mengucapkan hal yang sama pada Zia. Sampai saat makan pun, ia diacuhkan oleh Zia. Awalnya Zia memang benar-benar kecewa dan sempat menangis karena Rio. Tapi setelah ia diperlakukan manis dan receh oleh Rio habis-habisan. Mau tidak mau ia luluh. Tapi Rio tidak tahu itu. Karena mau bagaimana pun, namanya juga wanita. Gengsinya selangit.

   “Ya Allah istri... Sampe kapan si diamin suami kayak gini terus?” tanya Rio dengan ekspresi persis seperti anak kecil.

   Zia yang sedang menonton televisi hanya melirik Rio sekilas. Jujur saja, Zia sangat merasa jika ia adalah perempuan yang sangat beruntung dimiliki pria seperti Rio. Pria yang tak hanya sempurna fisiknya. Namun juga keimanan dan ketakwannya. Belum lagi Rio benar-benar mencintai Zia. Sampai rasanya Zia ingin berteriak di telinga Rio, ketika merasa dirinya selalu dispesialkan. 

   “Zia... Ayolah ini aku ngomong diperhatiin ngapa,” sewot Rio.

   Masih sama. Sang istri masih diam dan tak berkutik sama sekali.

   “Oh gitu ya. Kalau gitu, aku punya caraku sendiri untuk  buka mulut kamu.” jeda persekian detik. “aku kelitikin kam—”

   “Rio! Kamu mau ngapain?!” sentak Zia dengan menunjuk Rio.

   Mungkin terdengar dengan nada marah. Tapi ekspresi Zia tidak bisa dibohongi dari Rio. Zia nampak menahan tertawa.

   “Cium kamu sampe—”

   Ucapan Rio belum selesai. Tiba-tiba tubuhnya menegang seketika. Ketika Zia mencium pipinya.

   “Maafin aku Rio. Aku udah engga marah lagi sama kamu kok...,” teriak Zia sambil berlari menjauhi Rio.

   Rio memegangi wajahnya yang masih hangat bekas bibir Zia. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.

   “Ya Allah... Dia abis ngapain aku?” monolog Rio.

   Kini keadaannya berbanding terbalik. Yang awalnya Rio ingin membuat Zia luluh dan ia ingin sekali melihat meronanya wajah Zia. Namun kenyataannya dialah yang menjadi malu karena Zia.

  

***


   “Zia kamu udah dimasukin grup belum?” tanya Rio.

   Baru saja mereka selesai makan malam. Keduanya duduk di balkon seperti malam. Ditemani dengan secangkir teh hangat.

   “Grup apaan?” tanya Zia.

   “Grup kita enam.”

   “Aku sama temen-temenku dan kamu sama temen-temen kamu. Iya?” jawaban Zia cukup ambigu.

Azia Ferrario 2 ✔️ [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang