Bagian 42: Penolakan Keras

418 42 12
                                    

Lampung, 07 Agustus 2020

Setelah sekian lama kalian menunggu... Dan Alhamdulillah saya bisa nulis lagi. Tugas sekolah begitu menyita waktu luang.

Ya iyalah!
Kan pelajar. Jadi harus siap untuk belajar. :")

Jangan mengeluh ya, dengan tugasnya. Karena satu hal yang perlu diingat saat kita mau ngeluh, "Di luar sana.. Banyak mereka yang menginginkan sekolah, merasakan dunia pendidikan. Tapi terhalang oleh banyak faktor. Sampai tidak bisa bersekolah." :"(

"Di luar sana mereka banyak yang bersekolah. Tapi banyak pula tantangan dan hambatan mereka untuk bisa bersekolah dengan layak seperti kita."

"Kalau dari sekolah udah males-malesan, gimana mau ke jenjang kuliah dan kerja nantinya?"

Yups...
Harus semangat...!!! 😎

Cussssss...

BACAAAAAAAA.....

***

“Rumus hidup ini ada banyak. Tapi yang utama dalam menjalaninya adalah dengan menerima takdir dari-Nya.”

***

   Gemerlap bintang malam ini begitu indah di langit. Bulan yang belum sempurna bentuknya—kini menjadi objek yang ditatap lekat oleh Alvin. Hari ini kehidupan barunya akan dimulai. Jalan cerita hidupnya akan berubah dalam waktu dekat. Ia harus kuat dan menerima semua yang sudah ditentukan. Sebentar lagi, ia pun harus terbiasa dengan kedua orangtuanya dan juga... Si adik perempuannya. Ya! Alvin harus siap menghapus perasaan cintanya itu.

   Di sini. Di balkon kamar barunya, Alvin duduk sendiri. Ya, mulai hari ini dan seterusnya Alvin tinggal bersama Anis dan Khoiri. Ia sudah banyak mengetahui semua cerita orangtuanya dan tentang dirinya sedari kecil. Tadi siang, ia sudah tahu jika nama yang sebenarnya adalah Muhammad Fatih. Dengan senang hati Alvin akan merubah nama aslinya. Memang tidak sudi Alvin jika namanya masih memakai nama Alardo. Walau sedikit canggung dengan panggilan namanya, ia akan berusaha untuk terbiasa dengan itu.

   “Assalamu'alaikum...,” Tiba-tiba lamunan Alvin buyar begitu saja saat Anis di sampingnya.

   “Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh... Bunda,” Alvin canggung.

   “Teh hangat?” Anis menawarkan Alvin. Lantas ia menyesap tehnya.

   Alvin memperhatikan Anis dari samping. Pantas saja Zia secantik dan semanis itu, karena itu menurun dari Anis, pikir Alvin. Setelah dirasa teh hangat itu membasahi tenggorokannya, Anis menaruh kembali gelas itu di meja. Lantas menatap Alvin dengan senyuman manis.

   “Apakah kamu masih canggung dengan Ibumu sendiri?” tanya Anis.

   Alvin terkekeh. “Tidak, Bun... Alvin han— aa.. Maaf, maksudnya Fatih. Hehe,” ujar Alvin.

   Anis geleng-geleng kepala. “Semuanya butuh proses nak.” ucap Anis.

   Keduanya saling tertawa kecil. Sesaat keduanya sama-sama diam. Tapi tidak berselang lama dari itu, Alvin memulai pembicaraan.

   “Bun, kapan Zia pulang dari rumah sakit?” tanya Alvin.

   Wajah yang tadinya melengkungkan senyuman, kini perlahan senyum itu hilang. Anis menatap Alvin dengan tatapannya yang tak dapat tebak. “Apakah kamu sudah siap?” tanyanya.

Azia Ferrario 2 ✔️ [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang