Bagian 37: Ma Fi Qalbi Ghairullah

390 32 15
                                    

Lampung, 26 Juli 2020

***

   Senja kembali tiba. Semburat jingga terdampar begitu indahnya di ufuk; sore ini. Kepak-kepak sayap burung begitu riuh ke sana kemari. Angin yang begitu mendamaikan suasana hatinya Rio, kali ini sangat pas untuk menemani lamunannya.

   Di teras masjid. Kini pria itu duduk termenung, matanya menatap kosong ke depan. Bibirnya senantiasa basah, asbab bacaan dzikir-nya. Rio berusaha menenangkan pikirannya dengan terus mengingat Allah. Tidak ada cara lain yang paling ampuh untuk mendamaikan perasaan hati—kecuali saat mengingat Allah.

     “Jangan pernah meragukan cintaku, sekali aku mengaku cinta pada seseorang, maka akan tetap seperti itu.”

   Sempat. Sempat-sempatnya bayangan Zia yang berbicara seperti itu kembali merambat di pikirannya. Pernah suatu hari Zia berbicara seperti itu pada Rio, dan sampai detik ini Rio mengingatnya dengan baik.

  “Kamu benar Zia. Sekali kamu mengaku cinta pada seseorang. Maka akan tetep seperti itu. Ya, dan orang itu adalah Alvin. Bukan aku.” Monolog Rio. Tak dirasanya satu tetes air mata Rio keluar begitu saja—membasahi wajah tampannya.

   “Maaf, Pak... Sebentar lagi sudah masuk waktu maghrib.” Teguran dari salah seorang Bapak (jamaah) sholat itu membuat lamunan Rio terpecahkan.

   Dengan canggung dan malu, Rio menyeka air matanya. “Ah, iya Pak. Maaf, terimakasih sudah mengingatkan.” ujarnya sopan.

   Rio dan pria itu bergegas masuk ke dalam masjid. Dengan langkah kuat Rio berusaha tegar untuk menghapus tentang Zia di otaknya selama ia sholat. Dan akan kembali mengingat Zia saat tangannya menengadah—memohon doa pada Allah.

****

    Rio kembali dari masjid selepas ia sholat isya. Kebetulan Ibunya dan Aisyah yang bergantian menunggu Zia. Dari ujung koridor, Aisyah memperhatikan Rio yang tengah berjalan. Tentunya Aisyah ikut merasakan sakit saat melihat kakaknya yang tengah kacau seperti itu. Sesampainya Rio di depan Ibunya dan Aisyah ia mencoba tersenyum. Meski begitu, tapi Aisyah tahu jika itu sebuah lekungan senyum yang begitu dipaksa.

   “Assalamu'alaikum...,” Salam Rio.

   “Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh...,” jawab Aisyah dan Ferra.

   “Nak, kamu belum makan?”

   “Bagaimana keadaan Zia Mi?”

   Secara bersamaan Ibu dan anak itu menanyakan hal yang berbeda. Aisyah melirik Ferra di sampingnya dan Rio yang di depannya secara bergantian.

   “E... Maaf, Umi bertanya apa?” tanya Rio mengalah.

   Terdengar helaan nafas panjang dari Ferra. Ia menggelengkan kepalanya sesaat—sambil menatap nanar ke arah Rio. “Zia baik-baik saja. Dia hanya perlu dirawat sampai keadaannya benar-benar pulih.” ujar Ferra sambil memegang tangan Rio.

   “Duduk nak. Umi sudah belikan kamu makan. ” titah Ferra dan Rio.

   Ferra sangat hafal betul pada putranya satu itu. Rio akan susah untuk makan jika ia memiliki banyak masalah. Pernah saat itu, Rio sampai dirawat di rumah sakit karena tidak makan selama dua hari. Alasannya karena dia mempunyai masalah dengan temannya. Ya, kurang lebihnya begitulah kronologisnya.

Azia Ferrario 2 ✔️ [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang