Bagian 43: Ketika Takdir Berkata

391 39 22
                                    

Lampung, 09 Agustus 2020

***

“Ketika takdir berkata berakhir. Kita pun harus berakhir. Ketika takdir berkata mulai. Kita pun harus memulainya. Inilah takdir yang diberikan oleh Allah. Tidak bisa diganggu-gugat jalan hidupku yang sudah diatur oleh-Nya.”

-Azia Azzahra Khoirunnisa -

***

   Di sepertiga malam ini, Zia dan Rio terjaga—kenyenyakan tidur keduanya tergantikan dengan rokaat shalat yang mampu memberikan mereka nikmat. Kini dalam tempat yang sama dan menghadap Tuhan yang sama, sepasang kekasih itu sedang berdoa.

   Di hati Zia ia begitu menyesali perbuatannya beberapa jam lalu. Tidak seharusnya ia berkata seperti itu. Dimana seharusnya ia tidak pernah mengatakan ucapan sepedas itu—pada kakaknya sendiri. Emosi wanita hamil memang tidak stabil. Dan itu juga berlaku bagi Zia. Pulangnya ia dari rumah sakit, mood- nya sangat buruk. Sampai di malam harinya, justru keadaannya lebih buruk.

   “Maafin aku ya, Rio. Seharusnya aku enggak bilang kayak gitu tadi. Seharusnya aku nerima kenyataan ini, dan ak—”

   Zia terisak di dada bidang suaminya. “Shuttt...,” Rio menaruh telunjuknya di bibir Zia. “Jangan dilanjutin. Aku udah cukup ngerti dengan keadaan kamu sekarang.” kata Rio.

   “Iya tapi aku seharusnya kan ...” Tangis Zia semakin menjadi saat ia mengingat kejadian tadi malam.

   Rio memeluk Zia sambil menenangkan. Memberi kenyamanan untuk istrinya.

   “Semua belum terlambat, sayang. Semua ini baru dimulai. Wajar kalau kamu belum bisa nerima.” Rio melepaskan pelukannya perlahan. Menangkup wajah Zia.

   “Zia... Liat aku,” titah Rio. “kalau hati kamu udah mantap dan keadaan kamu udah membaik untuk ketemu Alvin, besok aku siap nemenin kamu ke tempat Ayah. Kita selesaikan semua ini baik-baik.” Rio memang paling bisa diandalkan dalam membujuk Zia.

   Mata Zia berbinar, dengan cepat ia mengelap air matanya. “Beneran?” tanya Zia dengan semangatnya.

   “Emang kamu udah siap?”

   “Ya enggak tahu juga si.”

   Dasar Ibu hamil! Semua keinginannya harus sesuai dengan mood-nya. Iyain ajalah ya, biar cepet.

   Sedangkan sang suami hanya dapat menghela nafas panjang melihat tingkah Zia. Sadar dengan reaksi suaminya saat itu, Zia hanya dapat menyengir kuda.

   “Insyaa Allah aku siap.” ucap Zia dengan mantap.

***

   Keesokan harinya Zia dan Rio sudah siap untuk pergi ke rumah kedua orangtuanya; Khoiri dan Anis. Sesuai dengan kesepakatan mereka tadi malam. Kedatangan mereka yang tiba-tiba di siang hari ini, membuat Khoiri dan Anis cukup terkejut. Bukankah tadi malam Zia begitu menolak keras kenyataan ini? Apakah secepat ini Zia berubah pikiran? Ya, itulah yang di pikiran mereka.

   Awalnya Zia dan Rio berbincang hangat—seperti biasa dengan kedua orangtuanya. Sesaat, mereka seolah melupakan kejadian-kejadian sebelumnya, termasuk tentang Alvin.
Namun karena rasa bersalah yang terus mengganjal hatinya, Zia akhirnya langsung mengatakan maksudnya itu, ia ingin berdamai dengan takdir dan mengenyampingkan egonya saat ini.

Azia Ferrario 2 ✔️ [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang