32# Takut Kehilangan

690 74 8
                                    

"Kenapa harus takut kehilangan kalau pada dasarnya kita itu tidak punya apa-apa. Semua ini hanya titipan, semua ini milik Allah. Termasuk pasanganmu."

***

Gambaran pernikahan yang aku bayangkan dulu itu mudah banget, tahunya ya nikah habis itu punya anak. Padahal kadang apa yang kita angan-angankan itu belum tentu sama dengan rencana Allah.

Kita minta ini, tapi kalau Allah bilang itu, kita bisa apa?

Sudah hampir satu tahun aku menikah tapi belum juga dikaruniai buah hati. Padahal aku dan Mas Azril sudah check up ke dokter, hasilnya kami sehat semua. Mungkin memang Allah belum ngasih aja, belum saatnya rejeki berupa anak itu Allah amanahkan kepada kami.

"Ngelamun lagi?" tanya Mas Azril setelah mengecup pipiku sekejab.

"Enggak kok, Bi," elakku.

"Kalau hidungnya kembang kempis gitu, artinya Ummi lagi bohong."

"Ih, apaan sih."

Mas Azril membawaku ke dalam dekapannya. Wangi tubuhnya langsung menelusup masuk ke rongga hidungku, menenangkan as always.

"Jangan sampai karena satu rejeki tertunda, membuat rasa syukur kita pada Allah jadi berkurang."

Aku menunduk. Teringat Rayhan yang sudah beberapa kali meminta seorang adik agar ada yang bisa diajak bermain. Rasa sedih kembali menyusup ke relung hatiku. "Apa Ummi belum pantas punya anak ya?"

Kerap kali pertanyaan itu muncul dalam benakku, terutama akhir-akhir ini. Rasanya aku sudah mengikuti berbagai seminar parenting dan kehamilan. Aku ingin mempersiapkan semuanya dengan maksimal, berharap Allah segera memberikan amanah ketika aku sudah siap.

Kini, aku merasa sudah siap. Ilmu yang aku pelajari sudah lumayan, tinggal prakteknya aja. "Mungkin Abi yang belum pantas."

Ucapan Mas Azril membuatku menoleh ke arahnya. "Abi lebih dari pantas, Abi itu suami dan ayah terbaik sepanjang masa."

Dia terkekeh, "Ck, sepanjang masa. Emang kasih ibu?"

Mataku berbinar menatapnya, "Semoga Ummi segera bisa menjadi ibu dari buah cinta kita ya, Bi."

Mas Azril mengangguk dengan wajah sendu. Apa kata-kataku ada yang salah? Entahlah.

***

"Ummi masak dulu ya Bi, sebentar lagi Rayhan pulang."

"Emang Rayhan ke mana, Mi?"

Wafiq bangkit dari sofa, perlahan melepaskan dekapan suaminya. Dia merasa dekapannya nggak sehangat biasanya, seperti ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. "Ke rumah Yoga, Bi. Main bola."

Azril manggut-manggut.

"Emm, Bi?"

"Iya?" Azril yang tengah menatap lantai akhirnya mengangkat wajahnya.

"Ada yang sedang Abi pikirkan ya?" tanya Wafiq khawatir. Tidak biasanya suaminya jadi lebih pendiam, biasanya kalau sudah bersamanya suaminya itu akan menjadi orang paling usil.

"Nothing."

"Bener?"

"Iya sayang, ya udah masak gih!"

Meski masih bertanya-tanya, akhirnya Wafiq melangkah ke dapur meninggalkan Azril yang kembali menunduk. Hatinya bimbang. Rasanya dia seperti orang munafik. Di depan istrinya dia seakan menguatkan, padahal sebenarnya dia sendirilah penyebab kesedihan istrinya.

"Maafkan aku Wafiq, aku terlalu menyayangimu. Hingga aku takut kehilanganmu," bisiknya lirih.

Dia bangkit dari sofa, kemudian beranjak menuju ruang kerjanya. Setelah menyalakan lampu, dia duduk di kursi kerjanya. Dengan perlahan tangannya terulur menarik laci meja, lalu dia keluarkan sebingkai figura berukuran delapan kali dua belas centi meter.

"Niken, aku sudah pernah merasakan kehilangan. Apa aku terlalu egois kalau membuat orang yang ku cintai bersedih karena aku takut kehilangannya," jeda beberapa detik menarik napas, "seperti saat aku kehilanganmu."

"Apa aku terlalu egois?" monolognya.

Hening, tidak ada jawaban. Karena memang tidak ada siapa-siapa lagi di ruang kerja Azril selain dirinya sendiri. Sebenarnya hatinya remuk melihat kesedihan terpancar di wajah istrinya. Istri yang dia harapkan akan menemaninya sampai ajal datang padanya.

"Maafkan aku istriku." Dia terisak. Laki-laki sejati adalah laki-laki yang akan rela menitikkan air matanya untuk wanita yang dicintainya.

"Kenapa harus takut kehilangan kalau pada dasarnya kita itu tidak punya apa-apa. Semua ini hanya titipan, semua ini milik Allah."

Kenangan masa lalunya berputar begitu saja di kepalanya. Percakapannya dengan Niken saat mereka menikmati senja di bukit.

Waktu itu Azril melemparkan pertanyaan.

"Senja itu indah, tapi mewakili sebuah kehilangan. Kita kehilangan siang yang begitu cerah, bermanfaat dan indah. Apa kamu tidak takut kehilangannya?" tanya Azril. Dia penasaran apa jawaban dari wanita yang sudah seminggu menjadi istrinya itu.

"Kenapa kita harus takut kehilangan kalau pada dasarnya kita itu tidak punya apa-apa. Semua ini hanya titipan, semua ini milik Allah."

"Begitu ya?"

Niken mengangguk mantap. "Tentu saja, Allah akan mengganti dengan yang lebih baik. Buktinya kita kehilangan siang tapi diganti dengan malam. Malam tak kalah menakjubkan, di langitnya yang gelap ada bintang-bintang yang bersinar. Sinarnya menjadikan malam begitu indah, membuat siapa saja yang memandangnya akan mengukir senyum."

"Kau benar. Pintar sekali istriku ini."

"Jangan pernah takut kehilangan Mas, karena Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik."

Ingatan itu membuatnya kembali meneteskan air mata. Tidak pernah terbayangkan kalau dia akan kehilangan Niken secepat itu. Namun, ucapan Niken benar.

Saat kehilangan, kita akan diganti dengan yang lebih baik. Mungkin beberapa tahun lalu dia kehilangan Niken, tapi kini ada Wafiq di sisinya. Seseorang yang harus dia bahagiakan, bukan malah menyakitinya.

Dia ingin mewujudkan keinginan istrinya itu, tapi kenapa rasa takut kehilangannya begitu besar?

***

Mari kita kasih konflik sedikit, spoiler dikit di part berikutnya Wafiq akan sakit hati dengan sikap Azril.

Ada yang sudah bisa nebak, kenapa?

Jazakumullah khair sudah membaca, jangan lupa tetap utamakan baca Qur'an ya. Apalagi ini malam Jum'at, Al Kahfinya jangan lupa 😇

Terimakasih sudah kasih vote dan komen, vote dan komenmu sangat memotivasi untuk terus menulis. 😘

Yogyakarta, 18 Juni 2020
- MERINDU SURGA -

MERINDU SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang