41# Akhir Cerita Kita

685 78 47
                                    

"Bukan akhir seperti ini yang ku inginkan. Kita memang bersama hingga mau memisahkan kita, tapi bukan dalam waktu dekat ini. Aku ingin untuk waktu yang lama."

***

Semuanya terjadi begitu cepat. Mata sembabku kembali mengucurkan air mata kala mengingat kejadian kemarin. Hatiku benar-benar hancur menyaksikan suamiku dikuburkan. Wajahnya pucat, matanya terpejam, dan tubuhnya tebujur kaku. Aku hanya bisa menyaksikannya dari kejauhan. Ya, Mas Azril adalah salah satu korban virus covid-19. Entah bagaimana dia bisa terkena virus itu.

Lagi-lagi air mataku menggenang saat aku mengingat pemakamannya. Aku tidak bisa memeluknya untuk terakhir kali. Aku tidak bisa menciumnya untuk terakhir kali. Bahkan, untuk berada di dekatnya dalam jarak satu meter saja aku tidak diperbolehkan. Semua itu demi bayiku, tim medis tidak ingin mengambil resiko.

Padahal aku rela tertular virus itu asal bisa mencium dan memeluk Mas Azril untuk terakhir kalinya. Ingin aku egois memaksa, tapi mengingat masih ada Rayhan yang harus aku jaga dan ada janin dalam perutku, akhirnya aku menguapkan keinginan itu. Ku pandangi lekat-lekat wajahnya sebelum dia dimasukkan ke dalam peti. Setiap jengkal wajahnya akan aku rekam dalam ingatanku, lalu aku simpan dalam hatiku.

Aku turun dari ranjang, berjalan terseok-seok dengan sisa tenaga yang aku punya. Aku menghampiri figura foto yang menampilkan foto pernikahanku dengan Mas Azril. Di tengah-tengah kami ada Rayhan yang tersenyum bahagia. Itulah saat pertama dia memiliki ibu.

Rayhan belum tahu perihal kepergian Abinya. Rayhan baru saja merasakan memiliki Ummi, tapi sekarang dia harus kehilangan sosok Abi dalam hidupnya. Bagaimana perasaannya nanti?

Aku menunduk, ingat kalau ada anak Mas Azril yang lain. Dia buah hati kami. "Kasihan kamu Nak, kamu tidak bisa bertemu Abimu saat lahir nanti," lirihku sembari menatap perutku yang mulai buncit. Tanganku mengusap perutku dengan lembut.

Ku dekap figura ini dengan erat, membayangkan seolah-olah aku sedang memeluk Mas Azril. Berharap aku akan merasakan pelukan balasan, tapi nihil yang ku rasakan hanya hampa. Air mataku kembali menetes. Ya Allah, ternyata sesakit ini rasanya kehilangan.

Aku ingin protes kepada-Mu. Namun, aku tidak punya hak. Aku, Rayhan, Mas Azril dan semua yang ada di dunia ini adalah milik-Mu. Engkau berhak mengambilnya kapan saja. Kuatkan hamba Ya Allah!

Kakiku lemas, rasanya tidak kuat lagi menopang tubuh ini. Aku merosot ke lantai, duduk bersimpuh sembari terus mendekap figura pernikahanku.

***

"Akhir-akhir ini peserta seminar Abi banyak yang batuk-batuk."

Itulah yang Mas Azril katakan padaku sebelum akhirnya dia dinyatakan positif. Apa mungkin dia sudah memiliki firasat ya? Dia beberapa kali membiarkanku tidur sendirian, katanya agar aku terbiasa kalau suatu saat ditinggal pergi jauh sama dia.

Lalu, dia yang biasanya dengan suka rela menyuapi Rayhan, tapi waktu itu dia malah mengajarkan Rayhan untuk mandiri. "Mulai sekarang Abang harus mandiri ya, kan sebentar lagi punya adik." Begitu katanya. Tentu saja Rayhan menuruti apa kata Mas Azril.

Hatiku ngilu mengingat saat-saat Mas Azril masih membersamaiku. Kami sempat membahas tips-tips agar persalinan lancar, dia bahkan sudah siap menjadi suami siaga yang akan selalu mendampingiku.

"Abi pokoknya rela Ummi cakar-cakar, yang penting Ummi lahirannya lancar. Jangan ninggalin Abi, lho. Abi nggak bisa bayangin kalau ditinggalin sama Ummi."

MERINDU SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang