8# Tanpa Kabar

1K 73 0
                                    

Terkadang kabar itu tidak terlalu penting untuk wanita. Yang terpenting adalah ia tahu bahwa orang yang dicintainya sedang baik-baik saja. Itu sudah lebih dari cukup.

-MERINDU SURGA-

🍁🍁🍁

"Huhh," ujarku frustasi.

Lagi-lagi pesanku masih centang dua putih, yang artinya ia belum membacanya. Aku membuka aplikasi instagram lalu mengetik elangdirga dalam kolom pencarian. Nihil, dia belum update postingan ataupun instagram story.

Sudah lebih dari tiga hari Mas Elang tak memberiku kabar. Terakhir kali dia mengirimkan pesan untuk mengabariku kalau dia sudah sampai di asrama. Katanya dari perusahaan memang menyediakan fasilitas asrama. Begitu tahu hal itu, aku sedikit lega.

Tapi begitu aku membalas pesan darinya, sampai saat ini juga Mas Elang belum membacanya. Bahkan setiap hari aku memantau instagramnya. Tapi lagi-lagi tak ada tanda-tanda yang bisa membuat kekhawatiranku mereda.

Biasanya dengan melihat postingan ataupun instagram storynya saja aku sudah cukup lega, dari situ aku tahu kalau dia sedang baik-baik saja. Tapi kalau tidak ada kabar seperti ini, apa dia juga baik-baik saja?

Pernah terbesit keinginan untuk bertanya pada keluarganya, tapi ku urungkan niatku. Aku takut kalau keluarganya malah ikut khawatir memikirkannya. Ingin bertanya dengan temannya tapi rasa gengsiku terlalu besar. Selain itu aku juga tidak ingin dikira sebagai wanita yang posesif. Terlebih lagi aku dan Mas Elang sudah putus.

Aku meraih ponsel yang tadi ku geletakkan begitu saja di meja dekat ranjang ku. Dengan sigap tanganku langsung berselancar mencari aplikasi WhatsApp. Setelah menemukan kontak Mas Elang, aku langsung mengirimkan pesan untuknya.

Singkat dan padat, aku hanya mengirimkan satu kata untuknya. Mas, hanya satu kata tapi itu mewakili rasa rinduku untuknya. Aku menghela napas pasrah, pasalnya pesanku sekarang malah centang satu, bahkan pesanku yang kemarin saja belum dibaca.

"Mas Elang, kamu di mana sih? Apa kamu baik-baik saja?" gumamku lirih.

Aku membaringkan tubuhku di kasur kesayanganku. Seharian bekerja membuat tubuhku pegal-pegal. Terlebih lagi beberapa hari ini aku tidak bisa fokus bekerja. Pikiranku terpecah karena ketidaktahuan ku akan kabar Mas Elang.

Tiba-tiba berbagai pikiran negatif muncul di pikiranku. Bagaimana kalau begitu Mas Elang tiba di sana hapenya tiba-tiba dicopet? Atau jangan-jangan sesuatu yang buruk terjadi padanya?

Aku menggelengkan kepalaku, berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif yang beberapa saat muncul.

"Ya Allah, lindungilah Mas Elang," ucapku lirih.

🍁🍁🍁

"Nanti ikut kajian kan, Mbak?" tanya Salwa yang tiba-tiba mensejajari langkahku.

Aku mengangguk. "Insyaa Allah."

Salwa terus saja mengikuti ku, bahkan ketika aku duduk lesehan di samping meja kerjaku dia ikut-ikutan duduk juga. Aku membuka jatah makan siangku lalu mulai melahapnya. Lele goreng dan sambel tomatnya membuatku semakin lahap memakannya.

"Salwa nggak suka timunnya nih, Mbak Wafiq mau?"

"Boleh," jawabku. Sebenarnya aku tidak terlalu suka timun sih, tapi kalau cara bicara Salwa lembut begitu aku jadi tidak kuasa untuk menolaknya. Apalagi ketika dia tersenyum sumringah begitu aku mengiyakan.

"Nih Mbak. Mbak Wafiq nanti tungguin Salwa ya? Aku mau ikut kajian, tadi diajakin Mbak Hilda."

"Gimana kalau boncengan aja? Nanti motor kamu dititipin ke penitipan motor sebelah kantor ini," saranku. Karena rumahku dan Salwa searah jadi kayaknya lebih baik boncengan aja. Sedang rumah Mbak Hilda memang dekat dengan tempat kajian.

MERINDU SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang