12. Sorry

21 3 0
                                    

Koridor SMK Bangsa Harapan terlihat sepi, hanya menampakkan beberapa murid yang sudah tiba lebih awal. Zidya melihat jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 06.10 masih terlalu pagi, padahal biasanya ia masih menyantap sarapan di rumah.

Zidya melirik ke samping sebal, kenapa juga ia harus mau di atur-atur cowok plinplan kaya Albas? Bahkan tadi malam, cowok itu keras kepala untuk menemani Zidya di rumah, alasannya takut jika dirinya di ganggu orang lain atau mungkin ada perampok yang menyakitinya. Yang benar saja, sudah bertahun-tahun ia terbiasa sendiri di rumah dan tidak terjadi apa-apa. Cowok protektif.

"Gak usah lirik-lirik kalo emang mau liat muka ganteng gua."

Zidya memutar bola matanya malas, PD sekali cowok itu. Yang ada, malah ia ingin mengusir Albas. Dirinya bukan anak kecil yang harus di temani sampai kelas.

Zidya menghentikan langkahnya di ambang pintu kelasnya yang masih sepi. "Sana pergi," usir Zidya judes.

"Hari ini lu cantik," ujar Albas santai, matanya bahkan menatap lekat gadis di hadapannya.

"Jangan mulai deh Al, sana pergi." Zidya mengibas ngibaskan tangan, mengusir Albas yang tetap tidak beranjak sedikutpun dari tempatnya berdiri.

"Gua temenin sampe temen lu dateng."

"Au ah! Serah!"

Zidya memasuki kelas dengan wajah kesal, diikuti Albas yang terus saja mengekor kemanapun gadisnya pergi.

"Tunggu luar, gak ada yang nyuruh lu masuk," seru Zidya sudah duduk di bangkunya. Cowok itu juga ikut duduk di hadapan Zidya.

"Gak ada yang boleh ngatur gua."

Malas menanggapi makhluk seperti Albas, Zidya memilih memainkan ponsel sekedar meng- scrool sosial medianya, lebih baik ia asyik dengan dunianya daripada harus berdebat tidak jelas dengan Albas, nanti ia bisa naik darah.

"Zi."

"Zia." Hasilnya tetap nihil. Gadis itu bahkan tidak menggubris Albas.

"ZIDYA!!" bentak Albas sukses membuat Zidya terlonjak kaget, hampir saja ponsel gadis itu terlembar ke udara.

"Di depan lu ada orang."

"Lu denger gua gak?"

Bukan jawaban yang di terima Albas melainkan anggukan terus menerus. Emosinya berhasil tersulut sekarang, ia paling tidak suka ada orang yang mengacuhkan kehadirannya. Siapa pun itu.

"Bangsat!! Gua udah baik tapi malah ini yang gua dapet. Harusnya dari awal gua udah musnahin orang-orang penghancur macem kalian. Gak tau diri!"

"Siapa yang minta lu buat bikin gua tetap hidup? Kalo lu bunuh gua waktu itu mungkin hidup gua gak akan semenderita ini." napas Zidya naik turun menahan emosi. "Lu tau Al, gua ngerasa kaya barang yang dijual kemanapun dan sama siapa pun, yang penting orang itu bisa beli gua dengan harga mahal. Gua kaya gak punya harga diri, bahkan setelah gua kenal kebejatan lo, harga diri gua bener bener ilang."

"Lu bukan barang Zi."

Zidya tersenyum kecut. "Gua gak tau apa-apa Al, bahkan gua selalu berusaha baik sama semua orang. Tapi, sekarang gua ngerasa bahwa menjadi baik itu sia-sia, gau gak di pandang secuil pun kecuali gua dibutuhin. Dan lu..." Zidya menunjuk Albas kesal sebelum melanjutkan kalimatnya. "Gak ada bedanya sama orang di luar sana. Brengsek! Kurang ajar!"

Albas menatap iba Zidya, ia sangat menyesal tidak bisa mengontrol emosi. Dirinya merasa menderita sekarang, apakah Zidya sebenci itu dengannya?

"Maaf Zi," lirih Albas menatap manik mata Zidya tulus. Sedangkan Zidya segera membuang muka ke jendela kelasnya.

Hate VS Love [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang