Seorang lelaki melangkahkan kakinya memasuki kantor polisi. Pakaian serba hitam lengkap dengan topi di kepalanya membuat aura lelaki itu begitu mencekam, bahkan beberapa polisi yang sedang bertugas menatap curiga si lelaki yang kini terus berjalan menuju salah satu meja seorang polisi.
Setelah memberitahu tujuannya, lelaki itu kembali melangkahkan kaki, lebih memasuki kantor polisi menuju ruangan khusus untuk bertemu dengan seorang narapidana.
Kurang lebih dua menit, seorang narapidana dengan beberapa rambut mulai terlihat memutih berjalan mendekat agar duduk berhadapan dengan si lelaki serba hitam itu.
"Kamu siapa?" tanya si narapidana, tatapannya menatap heran si lelaki sambil mengingat-ingat apakah ia kenal atau pernah bertemu sebelumnya.
"Saya gak mau basa-basi. Tujuan saya ke sini mau mengajukan satu pertanyaan."
"Pertanyaan?"
"Kenapa bajingan seperti Anda melakukan hal yang sangat hina? Apa Anda tau, karena kejadian yang Anda lakukan membuat satu keluarga hancur. Bahkan seorang Anak 11 tahun harus kehilangan kasih sayang dari orangtuanya sehingga terus menderita hingga sekarang," jelas si lelaki, matanya menyiratkan api kebencian mendalam. Pandangannya menatap tajam si lawan bicara.
"Maksud kamu apa?" si narapida menautkan alis bingung. Masih belum mengerti kemana arah pembicaraan si lelaki itu.
"Munafik. Apa Anda inget Ita? Pembantu di rumah Anda yang mengundurkan diri karena perbuatan hina majikannya sendiri."
"Ita?"
Si lelaki serba hitam itu menaikkan satu sudut bibirnya, tersenyum sinis.
"Seinget saya, dia mengundurkan diri ketika saya berada di Lampung untuk mengantar istri saya yang sakit," ucap si narapidana. "Anak muda zaman sekarang cuma bisa nebak tanpa bukti kuat."
Mendengar itu membuat si lelaki menatap ke depan dengan tatapan kosong. Ucapan narapidana itu terdengar meyakinkan, apa ia harus percaya atau menganggap itu hanya sebagai pembelaan diri? Atau mungkin selama ini dirinya salah target?
Sepertinya ia harus mencari tau segalanya dari awal.
******
"Makan Zi."
Teguran itu sukses membuat Zidya tersadar dari lamunannya, lalu beralih menatap Jef di hadapannya.
"Ada masalah?" tanya Jef membuat Zidya menggeleng cepat.
"Cerita aja Zi, kita ini kan sahabat lu. Siapa tau ada yang bisa kita bantu," ungkap Nadela.
"Gua gak apa-apa."
"Zi, jangan siksa diri lu dengan mendem semua masalah sendiri." Kini Jef yang berbicara.
Zidya mengaduk-aduk bakso di depannya tidak nafsu. Pikirannya kembali teringat atas sikap dan ucapan Albas yang sangat aneh, ia bingung kenapa hanya karena seorang cowok seperti Albas mampu membuatnya terlihat berantakan dalam beberapa hari. Sepertinya ia memang sudah gila.
"Tuh kan, kumat lagi," sindir Nadela sambil memutar bola matanya malas.
Zidya menggelengkan kepalanya beberapa kali, berharap agar semua ingatan tentang Albas keluar dari memorinya dan jatuh bertebaran ke lantai kantin.
"Gua pikir lu merasa berduka, makanya sikap lu beberapa hari ini aneh. Tapi, sekarang gua rasa bukan itu penyebabnya."
Ucapan Jef membuat Nadela serta Zidya menatap cowok itu menuntut penjelasan lebih.
"Ya, gua rasa sikap Zia beberapa hari ini mungkin, ada hubungannya sama cowok yang pernah nemuin dia di kantin waktu itu."
"Gua juga berpikir gitu. Ini semua ada hubungannya sama Albas," ungkap Nadela setuju dengan pendapat Jef yang terdengar masuk akal.
"Lu di apain sama dia?"
"Kalian berdua mikirnya kejauhan, gua cuma kangen sama Ayah." Zidya mencoba mencari alasan logis agar kedua temannya tidak merasa khawatir dan menuduh Albas macam-macam.
"Kalo lu gak mau jujur, ok. Gua yang akan bertindak."
******
Jef mulai memasuki salah satu club di kota Jakarta. Baru memasuki pintu saja bau alkohol langsung menjelajah indra penciumannya. Di belakang pintu masuk ia terus berdiri tegap, pandangannya mengelilingi setiap penjuru tempat itu. Setelah menemukan sosok yang ia cari, Jef langsung bergerak mendekat.
Tangan semakin mengepal hingga kuku-kukunya memutih. Giginya bergemelatuk, rahangnya mengeras menahan emosi, ia berjalan tenang menuju meja bartender.
BUGH!
Pukulan yang tiba-tiba membuat Albas terjatuh ke lantai, tangannya menyentuh sudut bibirnya yang kini mengeluarkan darah segar. Lalu matanya beralih menatap si pemukul.
"Bangun lu bangsat!"
Jef menarik kerah baju Albas, lalu kembali mendaratkan pukulan bertubi-tubi pada wajah Albas.
Kegaduhan itu sukses membuat semua wanita yang berada di sana berteriak histeris, sedangkan lelakinya mengelilingi meja bartender untuk menyaksikan perkelahian yang terjadi.
BUGH!
BUGH!
BUGH!
BUGH!
Jef terus mendaratkan pukulan berkali-kali tanpa mempedulikan Albas yang sudah meringis di bawah sana.
Jef kembali berdiri, "Satu kali lu buat Zia sedih, berarti lu nyari mati sama gua."
Albas berdecih mendengar itu. "Menyedihkan. Lu ngelakuin ini biar dia ngelirik lu? Percuma."
"Gua rasa kata-kata itu cocok buat diri lu sendiri. Lu rela ngelakuin hal bodoh buat bikin Zia natep lu dan sekarang lu buang dia kaya barang gak berguna. Menurut gua lu yang menyedihkan, udah nyia-nyiain Zia," ujar Jef sebelum berlalu membelah kerumunan lalu meninggalkan tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate VS Love [Completed✓]
Teen Fiction⚠️ Aku saranin baca dari awal, biar gak bingung sama alur ceritanya ⚠️ 🌵🌵🌵🌵 Albas Geozery terkenal sebagai raja jalanan yang selalu memenangkan berbagai macam balapan, seorang siswa yang bahkan menjadi incaran para wanita seantero sekolah. Siap...