14. Semakin rumit

13 2 0
                                    

"Bertambah masalah sama saja siap dengan kehancuran lebih cepat."
__________________________________▪


Ruang UGD masih tertutup sejak 30 menit yang lalu, belum ada tanda-tanda bahwa penanganan yang dilakukan akan segera berakhir.

Di bangku tunggu Albas menarik rambutnya frustasi. Kenapa semuanya harus terjadi pada keluarganya? Apakah penderitaan selama ini kurang hingga harus mempertaruhkan nyawa wanita yang ia sayangi? Sepertinya tidak akan ada keadilan untuk dirinya. Ia lelah, sangat.

Zidya yang sedari tadi berada di samping Albas, terus memperhatikan cowok itu, ada kekesalan di raut wajah Albas namun tatapannya terlihat menyedihkan. Satu tangan Zidya terulur mengusap pundak Albas, berharap akan membuat cowok itu merasa lebih tenang. Pandangannya beralih memandang cemas pintu UGD. Ia berharap agar wanita di dalam sana bisa selamat sehingga Albas akan kembali seperti dulu. Walaupun menyebalkan asalkan senyum cowok itu tidak pudar.

Lampu kecil di atas pintu yang sedari tadi merah berubah menjadi hijau, menandakan operasi telah selesai. Membuat Albas maupun Zidya berdiri menghampiri dokter yang baru saja keluar.

"Keluarga pasien?" Sang dokter melirik kedua remaja di hadapannya.

"Saya anaknya, gimana keadaan Ibu saya? Gak kenapa-napa kan?"

"Walaupun ia kehilangan banyak darah, keadaan pasien baik-baik saja. Kalian bisa melihat kondisinya di ruang rawat," jelas Sang Dokter.

"Saya permisi dulu," lanjutnya, kemudian berjalan menjauhi keduanya.

"Duduk dulu Al, nanti kita jenguk kalo udah di bolehin." Belum sempat Zidya menarik tangan Albas untuk kembali duduk, cowok itu sudah lebih dulu menghempaskan tangan Zidya dan menatapnya tajam.

"Mending sekarang lu pergi dan gak usah masang muka lugu kaya gitu. Lu pikir gua bakal peduli?"

---------------------------------------

Setelah kepergian Zidya beberapa menit lalu, kini Albas sudah duduk pada bangku di samping brankar sang Ibu. Semua bagian tubuhnya seakan mati rasa, melihat kondisi wanita yang melahirkannya terbaring tak berdaya, Ia ingin meluapkan segala emosinya saat ini, tapi siapa yang harus ia salahkan? Keadaan? Takdir? Atau mungkin dirinya sendiri?

Selama ini ia hanya mampu bungkam seribu bahasa tentang kehidupan yang tidak menguntungkan, ia lelah. Sampai kapan ia harus bertahan dengan keadaan seperti ini? Ia bertekad mulai saat ini, menghancurkan siapa pun yang telah menghancurkannya. Tidak akan ada ampun hingga orang itu merasakan hal yang sama seperti dirinya, yaitu menderita.

Cklek!

Suara pintu terbuka tidak membuat Albas bergerak dari tempatnya, bahkan pandangannya tetap bertahan pada wajah pucat pasi sang Ibu.

"Kamu gak punya hp buat ngabarin keadaan anak saya?" tanya seorang lelaki tua yang sudah berada di sisi lain brankar.

"Kakek juga udah tau," ucap Albas seadanya.

"Kalo tidak bisa menjaga lebih baik tidak membuat masalah."

"Ceramah itu di masjid."

Satu pukulan tongkat di bahu Albas membuatnya menatap tajam lelaki itu, walaupun notabenya itu adalah kakeknya, tapi tidak ada kamus takut dalam hidupnya. Anggap saja dirinya durhaka, ia tidak peduli.

"Cucu kurang ajar."

"Tua bangka so bijak." Setelah mengucapkan itu satu pelototan langsung dilayangkan oleh si Kakek, Albas yang tak mau kalah semakin menatap tajam lelaki itu.

"Mau lomba pelototan?"

Suara berat dari ambang pintu membuat keduanya membuang muka ke sembarang arah. Albas sangat kenal suara ini, sudut kiri bibirnya terangkat, ia terlalu jengah dengan keadaan sekarang.

"My Bro, makin tinggi aja lu, mau jadi tiang listrik?"

"Gak ada yang nyuruh lu ke sini," ucap Albas tegas.

"Jangan seperti bocah kamu, kakek yang menyuruh Alfi untuk datang," tegur lelaki tua itu.

"Udahlah Al, lupain. Kan gua juga udah minta maaf."

Albas tersenyum remeh mendengar kalimat yang dilontarkan Alfi barusan. Bahkan karena kejadian itu Albas semakin membenci kehidupan ini dan apa tadi yang dikatakan Alfi, maaf? Mudah sekali mulut cowok beramput pirang itu bicara.

"Bayi kesayangan yang baru kenal dunia kaya lu tau apa?" Albas segera bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan ruang rawat, berlama-lama di dalam seperti berada di dalam api. Apalagi sejak kedatangan Alfi -saudaranya.

******

Deru kendaraan terdengar nyaring malam ini, jalan raya yang terlihat sepi membuat beberapa orang memaju kendaraan yang dinaiki menjadi lebih cepat begitupun Albas, cowok tinggi itu menancap gas tinggi di tengah jalan kota yang lengang.

Albas memberhentikan motornya di depan klub tempat kerjanya, ia tidak berniat untuk bekerja tetapi ada sesuatu yang harus ia selesaikan.

"Woy Al."

Albas hanya menatap datar Jimy yang berjalan ke arahnya.

"Hm?"

"Mending gak usah dateng Al, lu gak liat sekarang udah jam berapa?" tanya Jimy sambil memperlihatkan jam di pergelangan tangannya tepat di hadapan wajah Albas. Dengan satu dorongan Albas menyingkirkan tangan tidak sopan itu.

"Gua gak mau kerja, ada urusan yang harus gua selesain."

"Urusan apaan?" Jimy mengangkat kedua alisnya pertanda jiwa keponya keluar.

"Mending lu kerja, daripada ntar cewek murahan di sini diambil orang." Setelah mengucapkan kalimatnya, Albas berlalu meninggalkan Jimy yang hanya menatap kepergian Albas bingung.

******

Di dalam ruangan kecil yang hanya bercahayakan pantulan sinar bulan dari celah tirai yang tersingkap kecil. Seorang wanita mengenakan dress biru, terlihat sangat cocok membentuk lekuk tubuhnya yang langsing itu. Ia mulai menggoreskan sebuah pisau lipat pada bagian tubuhnya sendiri.

Pertama-tama sang wanita menggoreskan perlahan ujung pisau yang lancip serta mengilap itu dari pinggir pipi kanan menuju bagian hidung, ujung pisau yang sudah terkena noda darah itu mulai ia tusukkan perlahan pada perutnya yang masih tertutup baju membentuk sebuah ukiran hati.

'cantik,' batin wanita itu sambil tersenyum bangga.

Bahkan ia mulai melukai kaki jenjangnya secara perlahan dan penuh perasaan. Bagaikan ia tengah melukis di atas kanvas putih nan bersih.

Setelah di rasa cukup, dengan cepat dirinya mengambil darah pada beberapa bagian tubuhnya dan menempelkannya pada lelaki yang kini tengah terbaring tidak berdaya karena mabuk, pisau yang sudah terlumuri darah itu ia taruh pada tangan si lelaki. Tangan wanita itu mulai menuntun tangan si lelaki ke arah pergelangan tangan kirinya, kemudian memotong pergelangan itu perlahan. beberapa detik kemudian pandangannya mulai buram lalu menghitam.

Hate VS Love [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang