"Silahkan saja anggap aku pencundang. Karena saat ini berada didekat mu terlalu menyakitkan, jadi caraku adalah menghindar."
🌵🌵🌵🌵🌵🌵🌵🌵🌵🌵🌵🌵🌵"Al!!"
Zidya meninggikan suaranya sedikit berteriak, langkah kaki jenjangnya terus mengikuti Albas yang berjalan cepat di depan sana menuju pintu keluar pemakaman. Zidya merasa sikap Albas berubah kepada dirinya, tatapan cowok itu seakan menyiratkan kebencian setiap melihatnya.
Zidya tidak nyaman dengan situasi seperti ini, walaupun memang status mereka hanya sebatas di atas kertas tetapi, tetap saja Zidya merasa seakan ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Mungkin memang ia sudah benar-benar jatuh hati pada Albas atau ini hanya rasa berterima kasih karena Albas selalu ada di saat terburuknya.
Zidya pikir sekarang waktunya ia melakukan hal seperti yang Albas lakukan untuk dirinya, ia ingin selalu berada di dekat cowok itu ketika bersedih dan membutuhkan sandaran. Ia pun sudah berjanji pada Kakek Albas bahwa akan menemani Albas, memastikan senyum cowok itu selalu terukir. Tidak mungkin ia ingkari kan?
Zidya mulai berlari dari pintu keluar makam, begitu melihat Albas menyalakan motor berniat pergi meninggalkan area pemakaman.
"Albas," teriak Zidya lantang. Napasnya kian memburu seperti habis mengikuti lari maraton, peluh sudah mulai membanjiri dahinya. Ia memberhentikan langkah saat melihat punggung Albas menghilang pada belokan pertigaan jalan.
"Dasar kurang ajar!" umpat Zidya sambil mengelap dahinya dengan punggung tangan.
Sepertinya gak ada cara lain, batin Zidya.
Ia mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya, mencari kontak seseorang sebelum menghubunginya.
"Gua minta nomer Reizy."
******
Kenapa sekarang dirinya merasa menyesal membuat suatu hubungan dengan gadis polos seperti Zidya. Albas memang seseorang yang tidak memikirkan sesuatu secara matang, ia hanya memikirkan semua dengan satu sudut pandang bahkan dirinya tidak memikirkan akibatnya bila mempunyai hubungan bersama gadis itu.
Dirinya terlalu bodoh! Sekarang bagaimana ia bisa terlepas dari Zidya. Albas tidak mau mempunyai hubungan lebih lama, sebab tujuan ia mendekati Zidya sudah tercapai. Yang ada semakin dekat dengan Zidya membuat dirinya semakin terluka. Ia marah setiap melihat gadis itu, seakan semua masa-masa terburuknya kembali berputar di memorinya.
Albas semakin menancap gas motornya lebih cepat. Tidak mempedulikan umpatan kesal dari pengguna jalan lainnya.
Begitu tiba di halaman rumah Albas langsung memarkirkan motor, ketika langkahnya memasuki ruang tamu, aroma masakan -yang mampu membangunkan cacing-cacing di perutnya- dari arah dapur membuat Albas menautkan alis bingung. Tidak mungkin Alfi bersedia memasak untuk dirinya, lagi pula memang cowok manja seperti Alfi mampu memasak?
Dengan penasaran, Albas melangkahkan kakinya perlahan menuju dapur. Ia tidak percaya melihat siapa yang dengan baiknya memasak untuk dirinya dan Alfi.
"Gua bantu apa lagi nih? Gini-gini gua jago dalam segala hal," tanya Alfi sambil memasukan kangkung yang sudah dicuci ke dalam wajan berisi beberapa bumbu dapur yang telah di potong-potong.
"Udah mau selesai kok ini, lu tunggu aja di meja makan."
"Bener nih udah gak ada yang perlu dibantu?" tanya Alfi memastikan sembari mendekatkan tubuhnya dengan Zidya. Sehingga mengikis jarak di antara keduanya. Terkadang Alfi menyisipkan rambut Zidya yang menutupi wajah cantik gadis itu ke belakang telinga.
Kenapa Albas merasa panas melihat Alfi dan Zidya bersama, seolah ada perasaan kesal dan tidak terima melihat kedekatan itu. Tidak mungkin jika dirinya cemburu kan? Terlalu kekanak-kanakan rasanya.
"Mending duduk aja Fi," ucap Zidya. Jujur dirinya merasa risi jika harus terlalu intens dengan seorang cowok.
"My bro, dari kapan lu di situ?" tanya Reizy ketika cowok itu hendak menuju meja makan, seketika Zidya membalikkan badan sambil memasang senyum manis.
"Pasti Al laper, gua lagi masak nih ntar kita makan bareng-bareng."
"Gua jamin lu suka Al, soalnya ada campur tangan gua. Dijamin rasanya lezat dan nikmat." Alfi tersenyum bangga mengatakan itu. Dan hanya dianggap Albas sebagai Angin lalu.
"Siapa yang suruh lu dateng ke sini?" Nada suara Albas terdengar dingin. Namun tak membuat Zidya merasa terintimidasi ataupun terpojok, justru gadis itu tetap menampilakan senyum tulus sambil membawa tumis kangkung ke atas meja makan.
Zidya menatap Albas tepat di manik mata cowok itu, "Makan Al."
"Asyik!! makan enak, kebetulan perut gua udah laper." Alfi berlari memutari meja makan dan duduk di salah satu bangku. Tangannya dengan cepat menyiduk nasi serta lauk pauk ke dalam piringnya. Bodoamat jika kedua orang itu mau bertengkar, yang terpenting sekarang adalah perutnya.
"Gak ada yang nerima kedatangan lu di sini!" tegas Albas. Cowok itu tidak sedikitpun bergeser dari tempatnya berdiri, pandangannya tetap menatap lurus tak suka akan kedatangan Zidya.
"Gua nerima," ucap Alfi dan tentu saja lagi-lagi itu hanya dianggap angin lalu oleh Albas.
"Pergi!" titah Albas tegas, seakan itu adalah perintah tanpa penolakan.
Zidya menarik satu bangku sebelum mendudukan dirinya di sana, "Gak mau."
Albas menaikkan satu sudut bibirnya membentuk senyum sinis, "Mau memperbaiki? Percuma. Anak penghancur akan tetap jadi penghancur."
"Tapi gua bukan pecundang yang bisanya cuma lari dari masalah," ucap Zidya telak.
Rahang Albas mengatup menahan emosi, kedua tangannya mengepal sempurna mendengar perkataan yang di lontarkan Zidya. Tatapan matanya bagai belati yang siap menusuk Zidya detik ini juga.
"Ribut terus kaya anak kecil. Gua mau makan aja susah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate VS Love [Completed✓]
Teen Fiction⚠️ Aku saranin baca dari awal, biar gak bingung sama alur ceritanya ⚠️ 🌵🌵🌵🌵 Albas Geozery terkenal sebagai raja jalanan yang selalu memenangkan berbagai macam balapan, seorang siswa yang bahkan menjadi incaran para wanita seantero sekolah. Siap...