28. Permainan Sebenarnya

11 1 0
                                    

"Awasi dia dan laporkan semua informasinya kepada saya," perintah seorang lelaki yang kini duduk di kursi membelakangi lawan bicaranya.

"Siap bos," jawab si lawan bicara.

"Kamu boleh pergi," ucap lelaki yang di panggil bos tersebut. Setelah mendapat perintah, si lawan bicara langsung meninggalkan ruangan.

"Permainan baru dimulai." Seringai tajam terukir jelas di bibirnya, lalu berganti dengan suara tawa menggelegar didalam ruangan tersebut.

******

Albas memasuki area pemakaman dengan berbagai pertanyaan menghantuinya sedari malam. Langkahnya semakin dekat dengan makam sang Ibu, lalu pandangannya menyusuri seluruh sudut dekat pemakaman Ibunya. Berharap menemukan satu orang yang ia cari-cari.

Sudah satu jam Albas menunggu di makan Ibunya, tetapi seseorang yang ia tunggu belum juga menampakan batang hidungnya. Ia yakin jika lelaki itu pasti sering mengunjungi makan sang Ibu, terlihat dari taburan bunga di sana. Pasti ketika dirinya datang, taburan bunga di atas makam Ibunya terlihat masih segar. Entah kenapa Albas yakin jika lelaki itu yang setiap hari berkunjung ke sini.

"Makam Ibunya?"

Suara itu membuat Albas terkejut, lalu segera berdiri melihat siapa yang berbicara dengannya.

"Iya Pak."

"Saya penjaga makam di sini, saya perhatikan Masnya sering datang ke makam ini," ucap si penjaga makam yang terlihat sudah memasuki kepala tiga itu.

"Di sini satu-satunya tempat yang ngebuat saya tenang, Pak."

"Apa yang setiap hari datang ke sini itu Ayah Masnya?"

Albas berpikir sejenak, Apa mungkin Ayahnya mau datang ke makam Ibunya. Mengingat hubungan mereka terakhir kali sangat buruk. Meski keduanya masih berstatus suami-istri.

"Bisa saya minta tolong sama Bapak?" Albas bertanya. Mungkin ia bisa mendapat informasi lebih, jika nyatanya yang di maksud Bapak penjaga makan itu merupakan orang yang selama ini Albas cari.

"Untuk apa Mas?" Ada keraguan saat menanyakan itu. Pasalnya ia tidak mau ikut campur dalam hidup orang, apalagi jika nantinya ada masalah dan menyeret dirinya. Ia hanya ingin mencari uang untuk menafkahi keluarganya di rumah.

"Kalau besok ada yang datang ke makam Ibu saya, Apa Bapak bisa tolong hubungi saya? Kalau gak, tolong fotoin pelat nomor kendaraan orang tersebut."

"Dikira saya kalian Ayah dan Anak."

"Ini nomer saya, Bapak bisa menghubungi saya ke nomer itu." Albas mengulurkan ponselnya yang sudah menampilkan 12 digit angka. Lalu, penjaga makam itu pun langsung mengeluarkan ponsel miliknya, lantas menyalinnya ke dalam ponselnya.

"Saya mohon bantuan Bapak," mohon Albas.

"Saya usahakan." Penjaga makam itu tersenyum lembut, melihat ketulusan yang diperlihatkan Albas.

"Saya permisi dulu ya Mas, mau ngebersihin makam yang lain," pamit si penjaga makam, lalu berjalan menjauh ketika Albas mengangguk sebagai jawaban.

Al gak akan berhenti Bu, sebelum Al tau siapa penghancur yang sebenarnya, batin Albas sambil menatap batu nisan Ibunya penuh tekad.

******

Angin malam yang terasa menyengat kulit, membuat seorang gadis yang tengah berjalan di sepanjang jalan komplek rumahnya, sesekali mengetatkan jaket yang ia pakai, menghalau angin agar tidak menyentuh kulitnya.

Sesekali langkah pendeknya terhenti ketika merasakan bahwa di belakang sana seperti ada yang mengikuti. Ia merasa paranoid sekarang, takut-takut jika ada hantu atau semacamnya mengikuti dirinya.

Zidya malam ini berniat ke supermarket di depan kompleknya, membeli selai cokelat dan beberapa barang untuk persediaan di rumah, karena sudah habis. Sengaja ia memilih berjalan kaki, karena memang jaraknya yang dekat dan anggap saja sebagai olahraga malam, lagi pula ia tidak mau merepotkan Omnya. Ah, Zidya tidak suka merepotkan orang lain.

Lagi-lagi langkahnya kembali terhenti, perlahan ia menoleh ke belakang, memeriksa apakah ada orang di sana. Aneh, jalanan di belakangnya tampak lengang tak menandakan ada orang lain selain dirinya. Setelah di rasa aman, ia kembali melanjutkan jalan, kali ini dengan langkah yang lebih cepat.

"Aaaa," teriak Zidya refleks, ketika tangan kirinya di tarik seseorang dari dalam gang kecil tepat ketika ia berbelok di pertigaan. Gang itu sangat sepi dan— remang-remang.

"Lepasin gua, gua gak punya barang berharga apapun. Ini gua cuma bawa dua ratus ribu, ambil aja nih." Zidya memejamkan matanya karena terlalu takut, tangannya terangkat menyerahkan uang dua ratus ribu yang terlipat. Lebih baik kehilangan uang kan? Daripada kehilangan nyawa.

Tiba-tiba ia merasa mulutnya dibungkam, rasa penasaran di dalam hatinya terus-menerus bergejolak sedari tadi, mau tidak mau membuat Zidya membuka matanya perlahan.

Matanya terbelalak lebar, mengetahui bahwa yang berada di hadapannya adalah Jef. Wajah cowok itu terlihat lebih menawan terkena pantulan cahaya bulan, serta dalam jarak yang hanya terpaut 5 senti. Sukses membuat kerja jantung Zidya berpacu lebih cepat. Semoga saja Jef tidak mendengar suaranya atau Zidya pasti akan sangat malu sekarang.

"Dia masih ada di luar," lirih Jef tiba-tiba. Zidya mengikuti arah pandang Jef. Terlihat di sana, seorang lelaki berbadan tegap tengah membelakangi keduanya dan menatap sekeliling seperti mencari seseorang.

Setelah orang itu pergi dan di rasa situasi aman, Jef menarik tangannya lalu, mundur beberapa langkah kebelakang. Entah mengapa, suasananya terasa begitu canggung, bahkan Zidya mencoba mengalihkan pandangannya ke mana saja, asal tidak beradu pandang dengan Jef.

Hate VS Love [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang