34. Menghilang

10 2 0
                                    

Zidya keluar dari rumah dengan seragam putih abu-abu melekat sempurna di tubuh mungilnya. Matanya menatap Jef di depan pagar sebelum seulas senyum mengembang sempurna di wajah cantiknya.

"Nunggu lama ya?" ucap Zidya begitu sampai dihadapan Jef yang hanya membalas dengan gelengan kepala.

"Naik Zi," suruh Jef sambil mengulurkan tangan untuk membantu Zidya menaiki jok belakang motornya.

Suara deru motor langsung menggelegar kencang, bersamaan ketika Jef melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan komplek rumah Zidya yang lengang.

Hari ini entah ada angin Apa, Jef ngotot untuk berangkat bersama Zidya ke sekolah. Bahkan sedari malam Zidya sudah menolak kuat-kuat, tetapi tetap saja tidak diindahkan oleh Jef. Sebenarnya Zidya berniat untuk naik ojol pagi ini, sebab Zidya tidak mau merepotkan Omnya, apalagi kondisinya yang tidak memungkinkan setelah di pukuli Albas kemarin.

Tapi, Zidya lagi-lagi harus menyusahkan orang lain untuk berangkat ke sekolah hari ini.

Motor yang dinaiki Jef berhenti tepat di parkiran sekolah, membuat semua pasang mata kini menatap keduanya, beberapa ada yang berbisik-bisik, beberapa lainnya menatap penuh tanda tanya.

Zidya yang merasa tidak nyaman, langsung bergegas menuju kelasnya diikuti Jef di belakang sana. Walaupun notabenya, ia dan Jef adalah teman dekat sedari dulu, tetapi, setiap kedekatan Zidya dan Jef ketika berdua di depan murid lain, pasti sering membuat penggemar Jef marah dan merasa iri. Tak jarang tatapan mematikan selalu didapat Zidya.

"Akhirnya lu dateng juga Zi," ucap Nadela penuh rasa syukur begitu melihat Zidya dan Jef memasuki kelas bersamaan.

"Ada apaan Del?" Zidya menaruh tas di atas meja, sebelum mendudukan diri di atas kursi sedikit menyerong, agar bisa berhadapan dengan Nadela.

"Gua mau nanya sesuatu sama lu."

"Yaudah nanya aja."

"Lu udah putus sama Albas? Dan apa bener Albas punya pacar baru?"

"Gak tau," jawab Zidya masa bodo. Kemudian memilih mengalihkan pandangan menuju papan tulis di depan kelasnya.

"Kok gak tau sih Zi. Hubungan lu sama Albas itu sebenernya gimana?" tanya Nadela yang merasa heran.

"Mending lu tanya Albas, jangan tanya masalah itu ke gua."

"Masalahnya Zi, tadi malem Reizy nelpon gua. Dia bilang ada cewe yang nyari Albas di basecamp. Dia pikir gua tau, hubungan Albas sama cewek itu dan dia nanya tentang hubungan lu sama Albas, masih jalan apa udah putus."

"Gua gak peduli Del, tanya Albas aja sana."

"Jadi bener, kalian udah putus?"

Zidya hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban.

"Kalian masih ada hubungan? Tapi kenapa lu gak peduli sama cewe yang berusaha ngerebut Albas dari lu?"

Lagi-lagi Zidya hanya mengedikkan bahu, tidak berniat menjawab ataupun memperpanjang bahan obrolan Nadela. Sejujurnya, ia juga tidak tau apakah kedekatannya dengan Albas bisa dibilang sebuah hubungan? Apalagi jika mengingat landasan mereka dekat karena kontrak konyol yang dibuat Albas. Demi memudahkan tujuan cowok itu membalas dendam. Zidya merasa seperti boneka dalam permainan Albas, lambat laun pasti dirinya akan dibuang dan berakhir menjadi sampah tidak berguna.

"Jangan ngebahas cowok brengsek itu. Mulai sekarang gua yang akan berusaha ada buat Zia dan ngelindungin dia," timbrung Jef yang tiba-tiba muncul di samping Zidya.

******

Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Membuat Zidya kini duduk gelisah di ruang tamu. Pasalnya Anto belum kembali juga setelah dari tadi siang izin keluar untuk bertemu salah satu rekan kerjanya, padahal lelaki itu tidak dalam kondisi baik.

Zidya juga sudah berusaha menelpon tetapi telpon Anto tidak bisa dihubungi sedari tadi, tidak biasanya lelaki itu pergi sampai larut malam, biasanya Anto izin pergi dan sebelum jam 8 pasti sudah kembali ke rumah.

Kantuk sudah menyerang Zidya sedari tadi, matanya terkadang terpejam lalu terbuka kembali saat kepalanya tersntak ingin jatuh ke bawah.

Zidya menepuk-nepuk ujung sofa, sebelum menidurkan dirinya di sana. Mungkin ia lebih baik menunggu sambil tidur, siapa tau Omnya memang sedang lembur dan kembali larut nanti.

Dua jam kemudian, tiba-tiba suara ringisan terdengar jelas di sekeliling ruang tamu, terlihat Zidya jatuh terguling dari atas sofa. Gadis itu memegang tangannya yang sedikit merasa sakit akibat terbentur lantai yang tertutupi oleh karpet.

"Ish, kurang ajar! Gua jatoh nih, sakit tau," umpat Zidya sambil memukul-mukul sofa, kesal.

Matanya menatap Jam dinding yang menunjukkan pukul 01.00 WIB. Rasa kesalnya kini berganti dengan perasaan khawatir serta cemas. Sepertinya belum ada tanda-tanda bahwa Omnya sudah kembali.

Dengan cepat ia menyambar ponsel di atas meja, mencari satu kontak sebelum menghubunginya gusar.

"Halo Al, Om gua sekarang ada dimana? Masih belum puas lu kemaren bertindak kasar sama dia," seru Zidya tepat ketika panggilan telepon tersambung.

"Syukurlah kalo dia ngilang, jadi gua gak perlu repot-repot ngeluarin tenaga," jawab Albas datar dari sebrang sana.

Di tempatnya Zidya berhasil tersulut emosi, suaranya terasa kelu untuk bicara dan matanya sudah mulai berkaca-kaca.

"Gua mohon Al, kasih tau dimana Om gua sekarang," ucap Zidya dengan suara menahan isak tangis. Emosinya tak terkendali sekarang. Dirinya tidak bisa jika harus menyalurkannya dengan marah-marah, yang pasti berujung menangis.

"Lu pikir gua yang nyembunyiin dia?"

"Al, kasih tau gua dia dimana, cuma dia yang gua punya. Gua mohon sama lu, jangan berbuat macem-macem." Suara isak tangis terdengar mengakhiri kalimat Zidya.

"Gak usah nangis, suara tangisan lu jelek."

Zidya tidak menjawab, tetapi tangisnya kian pecah dan menyedihkan.

"Nyusahin! Besok gua ke rumah lu."

Hate VS Love [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang