21. Berubah untuk Menghindar 2

13 2 0
                                    

"Kenapa AL?" tanya Zidya ketika keduanya tengah duduk di ruang tamu. Setelah makan bersama tadi, Zidya memaksa Albas untuk bicara berdua. Walau cowok itu terus menolak, tak mambuat Zidya gentar, dirinya memilih menunggu di ruang tamu, menonton televisi dengan volume seperti di gedung bioskop. Tentu saja caranya itu berhasil membuat Albas kini duduk di sampingnya.

"Harusnya gua yang nanya gitu, kenapa lu ada di rumah gua?" Albas balik bertanya.

"Egois," lirih Zidya, tentu saja didengar oleh Albas, karena jarak mereka yang hanya beberapa centimeter. "Kan gua duluan yang nanya, harusnya lu itu jawab. Bukan malah balik nanya."

"Pertanyaan lu gak berbobot."

"Pertanyaan lu yang gak penting."

Zidya membuang napas kasar, lalu duduk menyerong agar berhadapan langsung dengan Albas. "Lu kenapa ngejauhin gua? Gua bikin salah?"

"Bahkan untuk hal sepele aja, lu gak tau jawabannya?" sindir Albas. Pandangan cowok itu tetap menatap lurus tanpa berniat balik menatap Zidya walau sedetik.

"Gimana gua bisa tau, emang lu kira gua cenayang bisa baca pikiran orang?" Intonasi suara Zidya naik satu oktaf. Berbicara dengan orang yang memiliki mood buruk sangat menjengkelkan, ia harus bisa mengontrol emosi jika tidak ingin terjadi perdebatan saat ini.

Mata Zidya beralih menatap lurus, posisi duduknya pun kembali seperti semula. Sebelum mengeluarkan suara, "Ternyata lu suka ngelucu ya Al, dulu saat pertama kita ketemu lu selalu bersikap manis, bahkan waktu itu gua gak kenal sama lu. Lu bisa tiba-tiba jemput gua, nganggep kalo gua milik lu, dan rela buat nyamperin gua ke sekolah. Bahkan di hari lu nyuruh gua tandatanganin berkas gak jelas itu dan mengklaim lu punya hak penuh atas gua." Zidya menjeda ucapannya.

"Lu tau Al, di saat itu gua bener-bener ngebenci lu. Bahkan di saat lu bilang kalo gua anak penghancur, hati gua kaya kena tusukan tak kasat mata. Gua terus ngebenci lu, tapi sikap lu malah tetep manis walau terkadang suka gak jelas kaya sekarang. Pas lu nemuin gua sama Ibu lu, di saat itu gua tau bahwa lu sebenarnya hancur, lu cuma pengen orang yang lu sayang gak ngalamin penderitaan sekejam itu, gua bahkan gak yakin penyebab semua itu Ayah gua, gua harap lu salah."

"Waktu Ibu lu dirawat di rumah sakit, gua sempet ngejenguk dan malah ketemu sama Kakek lu. Dia suruh gua buat tetep di samping lu Al, entah kenapa dia bisa sepercaya itu nitipin cucu kurang ajarnya ke gua. Tapi gua bilang kalo gua bakal ngelakuin itu, toh gua berpikir antara kita juga ada perjanjian bodoh itu yang harus gua ikutin. Gua berpikir emang ada alesan gua buat nolak?" Zidya tertawa sumbang setelah mengucapkan unek-unek terdalamnya.

Albas memperhatikan Zidya, ada kilatan heran di matanya mendengar semua penuturan gadis itu.

"Apa gunanya nyeritain itu semua ke gua?"

"Gak ada sih, gua cuma mau lu tau kalo gua bakalan tetep ada buat lu. Mau lu suka apa engga."

"Gak usah anggep omongan Kakek gua sebagai kewajiban. Bahkan gua bukan anak kecil yang masih bergantung sama satu orang."

"Gua gak butuh pendapat dari lu," ungkap Zidya.

Albas tersenyum sinis mendengar kalimat Zidya. "Gimana kalo alesan gua ngejauhin lu karena gua bukan orang baik?"

Pertanyaan Albas sontak membuat Zidya menatap cowok itu heran. "Maksud lu apa?"

"Gua gak yakin setelah lu tau, lu bakal tetep ngelakuin janji lu sama Kakek."

Albas berdiri dari tempatya berniat meninggalkan ruang tamu, langkahnya berhenti sebentar kemudian mengucapkan, "Mending lu pulang." Lalu kembali berjalan menuju kamar.

Alfi yang sedari tadi bersandar di tembok ruang makan, langsung mendekati Zidya begitu melihat Albas memasuki kamar cowok itu. Waktu yang tepat untuk mengeluarkan aura keromantisan dalam dirinya.

"Mau pulang Zi?" tanya Alfi begitu sampai di ruang tamu dan melihat Zidya tengah memakai tas. Karena kebetulan gadis itu masih mengenakan seragam sekolah serta membawa tas sekolah. Sepertinya memang setelah pulang sekolah Zidya sengaja langsung ke rumah Albas.

"Eh, iya Fi."

"Gua anter."

"Makasih atas niat baik lu, tapi gak usah," tolak Zidya halus.

"Gua maksa, jadi gak boleh ada penolakan," perintah Alfi. "Yuk."

Alfi berjalan lebih dulu, meninggalkan Zidya yang hanya bisa pasrah sebelum mengikuti langkah cowok itu.

Tanpa mereka sadari, di belakang pintu kamar Albas mengepal tangan kuat-kuat mendengar percakapan keduanya dari ruang tamu. Entah kenapa, tiba-tiba amarahnya naik seketika.

******

Setelah Alfi berlalu dari halaman rumahnya, kini Zidya langsung berjalan perlahan menuju pintu masuk. Namun, langkahnya terhenti seketika begitu pandangannya menemukan kotak hitam misterius lagi di depan pintu.

Belum membukanya saja, ia sudah menebak jika isi di dalamnya merupakan hal-hal yang menyeramkan, seperti kotak terakhir contohnya.

Zidya menimang-nimang sebentar, apakah ia akan membuangnya saja atau menyimpan di bawah tempat tidur seperti dua kotak lainnya. Lebih baik ia simpan dahulu dan nanti akan ia tanyakan pada Nadela atau mungkin Jef, siapa tau ada yang paham mengapa kotak-kotak itu dikirim ke rumahnya.

Di ruang tamu, Zidya mendapati Omnya yang tengah sibuk mengetikkan sesuatu di laptop, sepertinya pekerjaan Omnya terhambat karena harus menemani Zidya atau mungkin lebih tepatnya mengurus Zidya semenjak sang Ayah di penjara.

Iya, Ayahnya terbukti bersalah dengan barang bukti dan pengakuan korban yang ternyata masih bisa selamat setelah mengalami koma beberapa hari. Zidya belum berniat menemui seseorang dengan embel-embel korban itu, rasanya semua kejadian ini tidak benar. Mungkin lebih baik untuk saat ini ia tidak memikirkan hal itu terlalu berlebihan.

"Udah pulang Zi." Suara Anto membuat Zidya tersadar dari lamunannya, kemudian beralih menatap lelaki itu dengan senyum tulus.

"Iya Om."

"Masalah kamu udah selesai?"

"Belum sepenuhnya, tapi secepatnya pasti selesai."

"Ada yang Om bisa bantu?"

Zidya menggelengkan kepala, "Om di sini buat nemenin Zia aja itu udah ngebantu."

"Oh iya, tadi kamu kenapa minta Om anter ke pemakaman? Siapa yang meninggal?" tanya Anto heran. Karena tadi siang saat menjemput Zidya, gadis itu ingin di antar untuk ke pemakaman setelah itu menyuruhnya untuk pulang terlebih dahulu.

"Itu loh Om, yang waktu itu Zia minta anter Om ke rumah sakit buat ngejenguk. Itu Ibunya temen Zia, dia yang meninggal."

"Waktu itu kan di rumah sakit Om pernah nyebut nama Rosita dan ternyata itu nama Ibunya Albas, tadi Zia lihat pas di pemakaman. Zia mau nanya, kok Om bisa kenal sama Ibunya Albas?" tanya Zidya penasaran.

Mendengar itu sukses membuat Anto membeku di tempat. Bagaimana bisa kejadiannya sampai sejauh ini. Rasanya dunia terlalu sempit untuk dirinya. Apakah ia juga harus datang ke pemakaman? Sekedar mengucapkan kata maaf?

Hate VS Love [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang