Anto mengerjapkan mata perlahan, rasa sakit langsung menjalar pada kedua pergelangan tangannya yang terikat pada dua buah kayu besar di kedua sisinya.
Pandangannya menatap lemah satu orang yang tengah berdiri membelakanginya. Pikirannya mencoba mengingat bagaimana ia bisa berada di dalam ruangan kosong yang seperti sebuah gudang terbengkalai.
Ah, tapi sial. Rasa sakit akibat pukulan Albas beberapa hari lalu dan di tambah ikatan di kedua pergelangan tangannya membuatnya tidak fokus berpikir.
"Anda siapa?" tanya Anto pada seseorang yang berdiri tegak beberapa meter di depannya.
"Ternyata sudar sadar," ucap si lelaki sambil membalikkan badan dengan kedua tangan tenggelam di saku celana. Seulas smirk tercetak di wajahnya.
"Kenapa saya bisa di sini?" Anto menaikkan intonasi suaranya, sambil mencoba melepaskan ikatan di kedua tangannya.
Si lelaki itu berjalan mendekati Anto. "Karena kesalahan Anda sendiri," ucap si lelaki begitu berhenti lima langkah di depan Anto.
"Anda berhalusinasi? Bahkan kita gak saling kenal."
"Sepertinya ingatan Anda mulai melemah, dengan senang hati saya beritahu. Saya Fandy, suami Rosita. Wanita yang kamu buat menderita sampai akhir hidupnya," jelas Fandy. Seulas smirk yang sedari tadi diperlihatkannya kini luntur berganti dengan wajah dingin.
"Tidak mungkin. Apa kalian berdua sudah merencanakan ini semua?"
"Berdua?" Fandy menautkan kedua alisnya. Tidak mengerti siapa lagi yang di maksud lelaki yang tengah terikat.
"Anda dan anak Anda!"
Fandy tertawa sumbang sambil menolehkan kepala ke samping, dua detik kemudian kembali menatap Anto dengan tatapan mematikan. "Seharusnya bajingan tidak tau malu seperti Anda lenyap. Tapi, sayang bocah ingusan itu masih membiarkan Anda bernapas tenang. Memang tidak bisa diandalkan!"
"Sepertinya tidak ada alasan membiarkan Anda mati dengan tenang–" Fandy menggantungkan kalimatnya. Membuat Anto kini berdiri gelisah di tempatnya.
Dua detik kemudian Anto dibuat menegang, dengan sekuat tenaga ia mencoba melepas ikatan di kedua tangannya. Bahkan keringat dingin sudah mulai bercucuran turun. Jujur saat ini ia merasa tersudutkan, jadi wajar bukan kalau dirinya merasa takut.
Dari Arah depan, Fandy mengeluarkan silet berkarat dari saku kemejanya, memainkannya perlahan pada jari telunjuknya. "Bermain-main dulu sepertinya menyenangkan."
"Sepadan bukan?" lanjutnya sambil berjalan lebih dekat ke arah Anto yang sudah bergerak gelisah mencoba melepaskan diri.
Fandy berhenti, tangannya terangkat bersiap menggores bagian tangan Anto di hadapannya.
"Istri saya sering melukai bagian ini," ucap Fandy datar sambil memperdalam goresan memanjang yang sedang ia buat. Seketika darah segar keluar begitu deras, hingga berjatuhan di atas lantai bersemen. Membuat bau anyir menyeruak di sekeliling keduanya.
"Aaargghh," ringis Anto ketika Fandy mengoyak pergelangan tangannya begitu kuat. Dirinya juga manusia, yang masih bisa merasakan kesakitan seperti saat ini, tangan kanannya seperti mati rasa. Semakin dirinya mencoba membebaskan diri, semakin tangannya dibelenggu kesakitan dan rasa nyeri bersamaan.
Fandy menurunkan tangannya yang memegang silet berlumur darah, ia mundur tiga langkah. Matanya menyipit, menatap tidak puas dengan hasil karyanya. "Sepertinya saya memang gak cocok jadi pelukis." Fandy terus memperhatikan goresan panjang yang tidak lurus di tangan Anto.
"Bagaimana kalau saya buat yang baru? Yang pertama tadi sangat jelek," tanya Fandy membuat Anto menggeleng kuat-kuat. Tetapi tanpa memedulikan tanggapan yang ia dapat, Fandy langsung berjalan menuju tangan satunya yang diikat dan tidak terlihat luka sedikitpun.
"Ah, siletnya terlihat kotor." Fandy melemparkan silet berlumur darah itu ke sembarang arah. Lalu tangannya merogoh saku celana mencari sesuatu, setelah di rasa menemukan ia langsung mengangkatnya dengan senang.
Sebuah pisau lipat yang di keluarkan Fandy, lagi-lagi berhasil membuat detak jantung Anto berdegup lebih cepat, rasa sakit di tangan kanannya belum mereda, ditambah sekarang lelaki gila itu ingin melukai tangan kirinya.
"Apa kali ini hasilnya akan bagus? Seharusnya iya, kalau tidak siap-siap perut Anda akan menjadi bahan goresan selanjutnya."
******
Siang ini Albas meminta anggota vobrama berkumpul di rumah Zidya. Membuat rumah yang biasanya nampak sepi tak berpenghuni, kini terlihat seperti sedang melakukan pesta besar-besaran. Tapi, tentu saja anggota yang berkumpul baru setengah dari jumlah aslinya, karena beberapa di antaranya masih bersekolah dan tidak bisa kabur saat jam pelajaran.
Zidya terlihat lebih sering menunduk, menyembunyikan mata bengkaknya karena menangis beberapa jam yang lalu, sebelum Albas meminta anggota vobrama untuk datang. Ia sebenarnya merasa senang karena bisa mendapat lebih banyak bantuan seperti ini, tetapi rasa canggung masih melingkupinya sedari tadi, sehingga memilih untuk bungkam.
Tentunya Zidya sudah mengirim pesan pribadi pada Nadela, agar setelah pulang sekolah gadis itu bisa ke rumahnya, tetapi batang hidung Nadela belum juga terlihat.
"Gak ada bukti apapun? Terus kita harus bantu gimana?" tanya bang Ghany setelah Albas menceritakan masalah yang terjadi, sehingga meminta anggota Vobrama untuk datang membantu.
"Nanti minta bantuan Rendy buat lacak plat nomornya. Gua pikir itu satu-satunya jalan."
"Tapi lu yakin—"
"ZIA! Lu baik-baik aja kan?"
Ucapan bang Ghany terpotong oleh kedatangan Nadela yang langsung mendekati Zidya dan memeluk gadis itu, di belakang Nadela terlihat Jef yang tengah memperhatikan satu-satu anggota vobrama dengan teliti.
"Iya Del. Tapi, Om gua gak ada kabar dari kemaren siang."
Nadela menjauhkan tubuh Zidya sambil mencengkram bahu gadis itu lembut. "Kenapa baru ngabarin gua hari ini?"
"Baru inget."
"Hah!? Gimana-gimana? Lu bisa sampe lupa ngabarin sahabat lu ini?"
"Maaf Del."
"Udah-udah, kenapa lu jadi sewot cuma gara-gara masalah sepele? Sekarang yang paling penting gimana nemuin Omnya Zia," sela Albas merasa jengah dengan kedatangan kedua makhluk tidak jelas, yang sayangnya disebut Zidya sebagai sahabat.
Nadela mendelik ke arah Albas, menatap tajam lelaki itu.
"Akhir-akhir ini lu masih sering di mata-matain Zi?" kali ini Jef yang berbicara, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Kayanya udah gak Jef, soalnya gua juga jarang keluar rumah."
"Kenapa setiap lu dapet bahaya gua gak pernah tau? Dan lu juga kenapa gak pernah cerita sama gua?" Sontak Albas bertanya sambil menatap Zidya intens.
"Emang kita punya hubungan? Yang ngebuat gua harus nyeritain semuanya ke lu. Bukannya obsesi lu terhadap satu hal terlalu besar, jadi gak pernah bisa peduli gimana perasaan orang lain di sekitar lu."
"Bisa gak urusan asmara kalian omongin aja berdua? Kita-kita dateng ke sini bukan buat ngedengerin kalian berdua berantem. Kita masih ada urusan penting, jadi kalo kita udah gak dibutuhin, kita bisa pergi," ujar bang Ghany tenang, tetapi penuh ketegasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate VS Love [Completed✓]
Teen Fiction⚠️ Aku saranin baca dari awal, biar gak bingung sama alur ceritanya ⚠️ 🌵🌵🌵🌵 Albas Geozery terkenal sebagai raja jalanan yang selalu memenangkan berbagai macam balapan, seorang siswa yang bahkan menjadi incaran para wanita seantero sekolah. Siap...