13. Panti Rehabilitasi

20 2 0
                                    

Memilikimu aku bahagia lantas akan ku biarkan seluruh Dunia tau, kalau kau hanya untukku.
___________________________________▪

"Kenalin nih. Pacar sekaligus Istri masa depan gua. Lu semua jangan pada iri." Reizy berdiri di tempatnya sambil mendekap tangan seorang gadis yang dipamerkan di udara. Membuat pipi sang gadis merona sempurna.

"Neng, mending sama abang. Abang lebih waras dari dugong kaya dia."

"Sweety gak kehabisan obat kan?"

"Ya Allah, kenapa pantat panci kaya dia di kasih bidadari. Mungkin engkau salah menempatkan Ya Allah."

"Dasar kunyuk lu pada, awas kalo ada yang berani nikung. Gua colok mata lu satu-satu." Bukannya merasa takut, justru Ancaman Reizy membuat semuanya tertawa dan merasa bodo amat. Reizy yang melihat itu memilih kembali duduk, sepertinya ia tidak punya bakat untuk mengancam apalagi menakut-nakuti, wajahnya terlalu lucu untuk hal seperti itu.

"Al, jangan natap anak orang kaya gitu, lu gak liat dia keliatan takut?" suara Bang Ghany seperti angin lalu di pendengaran Albas.

"Ngapain di sini?" Albas tetap menatap intens obyek di hadapannya.

"Nganterin temen."

"Naik apa?"

"Angkot."

"Entar pulang sama gua," ucap Albas penuh penekanan. Jika sudah seperti ini siapa yang berani membantah.

"Ternyata raja jalanan kita lagi PDKT." Suara Reizy benar benar seperti toa dalam keheningan.

Albas mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. "Dia pacar gua."

"Al," lirih Zidya sambil menarik pergelangan jaket yang dikenakan Albas.

"Kenapa?"

"Malu." Zidya tidak berani melihat reaksi teman-teman Albas. Sejak kedatangannya dan Nadela saja sudah menjadi pusat perhatian, apalagi ketika Albas menariknya untuk duduk di samping cowok itu, semua pandangan seakan tidak berkedip sedikit pun.

"Berarti pacar kita temenan? Kayanya seru nih kalo nikahnya barengan."

Nadela segera mencubit pinggang Reizy. Membuat Reizy meringis sambil menampilkan sederet gigi putihnya di hadapan gadisnya. Nadela heran Cowok itu kenapa tidak pernah menyaring omongannya terlebih dahulu.

"Pernikahan gua bakal jadi yang terburuk dalam sejarah kalo di gabung sama lu."

******

Angin sore menerpa wajah Zidya lembut sesekali membuatnya menutup mata, merasakan kedamaian yang terasa. Jalanan Ibu Kota terlihat lengang, membuat motor yang dikendarai Albas dapat melaju dengan kecepatan tinggi dan bebas.

Zidya terpaksa harus pulang bersama Albas. Kalau bukan karena perjanjian tidak jelas itu, pasti ia akan tolak mentah-mentah dan memilih pulang bersama Nadela. Lagian juga kenapa Nadela harus ke tempat tadi, coba saja Zidya tau jika pacar sahabatnya adalah teman Albas, ia tidak akan mau menemani Nadela yang berujung pemaksaan seperti sekarang ini.

"Turun Zi."

Satu suara berat menyadarkan Zidya dari lamunannya dan beralih menatap Albas dari kaca spion.

"Ha?"

"Lucu banget sih Zi, kalo lagi lola gitu."

Zidya tak memperdulikan ucapan Albas, dengan cepat ia langsung turun dari motor diikuti Albas.

"Ikutin gua."

Dengan langkah panjang Albas mulai memasuki salah satu bangunan yang bertuliskan Panti Rehabilitas di atasnya. Zidya yang melihat itu hanya patuh mengekor.

Zidya menatap bagian dalam bangunan itu bingung. Mengapa Albas sering membawanya ke tempat-tempat yang asing? Tidak mungkin kan kalau Albas akan menaruh dirinya di sini, ia masih sehat dan normal. Otaknya pun masih berjalan dengan baik, ya walaupun terkadang sedikit lola.

Beberapa suster yang mereka lewati, menyapa Albas dengan senyum hangat. Seperti mereka sudah saling kenal dan sering bertemu.

"Gimana keadaannya?" tanya Albas ketika menghentikan langkahnya di depan ruangan yang baru menampakkan seorang suster dari dalam ruangan.

"Keadaannya stabil, kalau ingin menemui jangan membuat kegaduhan dan usahakan berbicara perlahan," saran sang suster, seperti mengetahui tujuan kedatangan Albas.

"Baik saya permisi dulu," lanjutnya dan melangkah menjauh. Baru beberapa langkah berjalan, suster itu berhenti sambil memperhatikan Zidya. "Pacarnya cantik," puji suster tersebut sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya.

Albas berbalik menatap Zidya, sedangkan yang di tatap hanya mampu menunduk.

"Nunduk terus, ntar cantiknya jatoh ke lantai." Tangan kiri Albas membuka pintu sedikit. Tangan kananya terangkat menyentuh dagu Zidya agar wajah gadis itu menatap Albas.

Albas mengangkat sebelah alisnya serta mengarahkan kepalanya ke arah pintu. "Masuk."

Mengerti maksud Albas, Zidya dengan ragu-ragu mulai melangkahkan kaki jenjangnya memasuki ruangan.

Pandangannya menatap heran satu objek, di sana di atas kasur ada satu wanita yang mungkin usianya sama dengan mamanya jika masih hidup. Wanita itu terlihat kurus dan pucat, pada bagian tangan terlihat seperti bekas goresan benda tajam. Bukan hanya satu melainkan hampir memenuhi tangan si wanita.

"Itu Ibu gua." Nada suara cowok itu terdengar sendu. Zidya menatap Albas iba, ia seperti tidak mengenal Albas dalam hitungan detik. Ini bukan seperti Albas yang posesif, kasar, labilan tapi kini Albas terlihat kesepian dan menyedihkan.

"Kenapa bawa gua ke sini?"

Tatapan Albas berubah tajam menatap Zidya, wajahnya memasang eksperi menyeramkan, seakan siap membunuh Zidya saat ini juga.

"Si tua bajingan yang lu sebut Ayah itu ngelakuin hal menjijikan sama Ibu gua. Sekarang liat, dia hancur sama kaya gua, dia menderita bahkan keluarga gua menderita. Gua gak bisa ngerasain kasih sayang dia lagi, bahkan gua selalu khawatir kalau dia tiba-tiba nekat ngelakuin hal yang bakal bikin gua tambah hancur dan mati detik itu juga."

"Mas Reno, aku bakal gugurin kandungan ini. Jangan tinggalin aku Mas."

Albas bergegas mendekati Ibunya, mendekap sepenuh hati untuk menenangkan. Sedangkan Zidya merasa seperti di hantam ribuan panah tak kasat mata melihat pemandangan itu, hatinya terenyuh, bahkan merasa sesak.

"Al gak akan ninggalin Ibu, Al janji bakal nemenin sampe Ibu sembuh," ucap Albas. Sekuat tenaga ia menahan tangisnya. Tidak masalah kan kalau cowok menangis? Ia sangat tidak tega melihat sang Ibu menderita seperti sekarang, kalau bisa memilih seharusnya brengsek tua itu saja yang menderita, biar keluarga brengsek itu saja yang menanggung kehancuran. Bukan keluarganya.

"Aku akan gugurin Mas, aku akan gugurin." Isak tangis mulai memenuhi ruangan itu.

"Ibu harus sembuh, Al bakal jadi anak baik setelah ibu sembuh."

Satu dorongan membuat Albas terpental dan terduduk di lantai. "Pergi kamu, jangan mendekat, jangan mendekat."

Wanita itu menjadi ketakutan, Albas berdiri dan berniat mendekat. Tapi tangannya langsung di cekal Zidya.

Zidya menggeleng, mencoba membuat Albas menjauh. Albas menatap Zidya tajam, sedetik kemudian ia menyentak tangan Zidya kasar kemudian berjalan perlahan menuju kasur sang Ibu.

"Jangan mendekat kamu atau saya akan teriak."

Tangan wanita itu merogoh saku bajunya mencari sesuatu, setelah menemukan si wanita mengarahkan silet setengah berkarat ke udara.

"Ibu, ini Al, anak Ibu." Albas tetap pada pendiriannya untuk melangkah maju dan menyingkirkan benda itu dari sang Ibu. Ia tidak ingin sesuatu terjadi pada Ibunya.

"PERGI!!"

Belum sempat Albas menghempaskan benda tumpul itu, Ibunya sudah terlebih dahulu menggoreskannya melebar pada pergelangan tangan kiri.

Darah segar mengucur deras membanjiri seprai dan celana wanita itu. Zidya membeku di tempat, lain halnya dengan Albas yang langsung membuang silet berlumur darah itu ke sembarang arah lalu membawa sang Ibu ke dalam pelukannya.

Hate VS Love [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang