18. Pergi Selamanya

15 2 0
                                    

HAPPY READING!!!

***

"Dasar bocah kurang ajar, kenapa gak sekolah?" teriak Cio dari ambang pintu. Walaupun ia sudah lanjut usia tetapi penglihatannya masih terbilang cukup bagus, bahkan dari jarak yang tidak terlalu dekat. Ia melangkahkan kaki di bantu tongkat kayunya mendekati Albas yang bahkan sedari tadi tidak menatap kehadirannya.

Cio menyenggol Albas dengan tongkat kayunya, "Kenapa gak sekolah?" ulangnya.

"Besok," jawab Albas seadanya. Ini bahkan terlalu pagi untuk memulai debat dengan Kakeknya.

"Sekarang!" tegas Cio.

"Besok!"

"Sekarang!!" ucap Cio tidak mau kalah.

"Besok!"

"Sekarang!"

"Gua maunya besok!" Nada suara Albas terdengar naik satu oktaf.

"Terserah kamu! Toh hidup kamu yang jalanin, Kakek hanya ngasih saran," ucap Cio mengalah, ia memilih duduk di sofa. Emosi yang buruk tentu tidak baik untuk kesehatannya, ia tidak mau tiada dalam waktu dekat, masih banyak yang harus ia lakukan untuk masa depan Albas.

Layar monitor EKG berbunyi nyaring ketika garis di dalamnya seketika berubah menjadi garis lurus. Albas langsung memencet bel yang ada di ruangan itu berkali-kali tanpa sabar. Ia terlalu takut jika sesuatu yang buruk menimpa sang Ibu. Albas terus memencet bel, melihat bahwa Dokter belum juga datang.

"Silahkan kalian tunggu di luar," perintah sang Suster membuat Albas dan Cio berjalan menuju pintu keluar, sesekali Albas menengok kembali seakan tak rela meninggalkan sang Ibu yang tengah berjuang.

Cio yang melihat Albas sedari tadi terus mondar-mandir tanpa henti langsung menariknya agar duduk tenang di sampingnya. Ia pun sama khawatirnya dengan Albas, tetapi terlihat gusar tidak akan mengubah situasi apapun.

Albas menarik rambutnya frustasi, ingin rasanya ia berteriak sekencang-kencangnya jika di rumah sakit diperbolehkan untuk berisik. Ia menatap bayangan dirinya yang tidak jelas pada lantai, hidupnya benar-benar berantakan sekarang, ia lelah dengan semuanya, kalau ia bisa mengubah takdir sudah pasti ia tak akan membiarkan kejadian seperti ini terjadi. Dirinya ingin bahagia tanpa harus ada airmata. Apakah itu mungkin?

Cio merangkul bahu Albas, menepuknya perlahan memberi kekuatan walau mungkin tidak akan membuat semuanya lebih membaik.

Albas dan Cio sontak berdiri dari kursi tunggu, ketika melihat sang Dokter keluar.

"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi, Tuhan berkehendak lain."

******

Kelas 12 Akuntansi menjadi sangat berisik saat ini, sebab guru yang mengajar berhalangan hadir dan tidak ada tugas yang diberikan sehingga membuat kelas Zidya menjadi tidak terkendali.

Hari ini Zidya sudah merasa lebih baik dari kemarin, walau beberapa dari teman-temannya terkadang masih menggosipkan tentang kasus sang Ayah sepertinya itu sudah tidak terlalu berdampak untuk dirinya. Ia bisa menjadi kuat seperti sekarang juga karena Nadela dan Jef yang selalu memberi semangat dan mendukung Zidya terang-terangan tanpa takut dijauhi oleh siswa-siswi SMK Bangsa Harapan.

"Hah?" teriak Nadela membuat semuap pasang mata menatap gadis berkepang itu dengan tatapan heran.

"Iya Rei," ucap Nadela sambil mematikan panggilan di ponselnya. Setelah itu ia menatap Zidya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

Zidya menautkan alisnya heran, "Kenapa?"

"Lu gak di kabarin Al?"

"Di kabarin apa?" tanya Zidya semakin bertambah heran.

"Ibunya Al meninggal," jelas Nadela sontak berhasil membuat Zidya membeku di tempat.

Bagaimana mungkin kejadian besar seperti ini Albas tidak memberitahunya? Apakah memang status mereka hanya sebatas tulisan di atas kertas? Ah, sekarang bukan waktunya untuk berfikir yang tidak-tidak.

"Gua harus kesana," ujar Zidya sambil membawa tasnya dan berjalan terburu-buru keluar kelas.

"Del, Zia mau kemana?" teriak Jef yang melihat kepergian Zidya.

"Ke rumah Al," balas Nadela ikut berteriak sebelum menghilang saat berbelok dari pintu kelas.

******

"Gua turut berduka cita Al," ucap Bang Ghany sambil menepuk pundak Albas dua kali. Beberapa anggota Vobrama yang baru datang pun melakukan hal yang sama.

Albas tersenyum sebagai tanggapan, kini rumah yang biasanya terlihat sepi tiba-tiba berubah menjadi ramai dalam sekejap, mereka datang bukan karena ada pesta besar, tetapi untuk sekedar berbela sungkawa mengetahui bahwa ada seseorang yang meninggal dunia.

Tentu saja Geng Vobrama menjadi yang terbanyak dibandingkan tetangga dan kerabat yang hadir. Albas merasa beruntung memiliki teman dengan solidaritas yang tinggi, tidak mungkin meninggalkan ketika salah satu sedang dalam masalah.

Zidya turun dari mobil diikuti Nadela dan Jef. Mobil itu ia pinjam dari guru BK yang mengizinkan mereka untuk membawanya. Sebenarnya Jef yang meminjam, katanya agar lebih cepat dan bisa menampung tiga orang.

Albas menatap kedatangan Zidya tanpa berniat untuk menghampiri. Melihat Zidya seperti memutar kembali memori kelam sehingga kejadian ini bisa terjadi. Rasanya kini kebencian itu semakin dalam dan tidak terjangkau.

"Gua turut berduka Al," ucap Zidya di hadapan Albas, "Lu pasti bisa ngadepin ini semua," lanjutnya.

Tanpa ada niat membalas ucapan Zidya, Albas langsung berlalu dari hadapan gadis itu dan memilih bergabung bersama Geng Vobrama yang sedari tadi ternyata memperhatikan keduanya.

Mata Zidya mengikuti kepergian Albas, lalu membuang napas pasrah. Ada apa dengan cowok itu?

"Temennya Al ya?"

Zidya menolehkan kepala melihat siapa yang berbicara dengannya.

"Iya," jawab Zidya mengulas senyum.

"Al moodnya emang gak jelas, jangan masukin hati."

"Gua udah biasa sama sikap dia yang kaya gitu."

"Oh iya, gua Alfi. Sodaranya Al," ucap Alfi sambil mengulurkan tangan kanannya.

Beberapa detik kemudian Zidya membalas uluran tangan Alfi, "Zidya."

***

Turut berduka cita ya Al, huhuhu :(((

Tapi, tenang aja Al, ada aku kok yg gak bakal ninggalin kamu...

/Auto di jadiin qurban sama Zia/

Hate VS Love [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang