15. Kejadian Tak Terduga

16 2 0
                                    

"menerima kenyataan pahit. Itu sulit."
__________________________________▪


Angin pagi terasa berhembus memasuki kamar melalui celah jendela yang sedikit terbuka , ditambah bunyi alarm sejak tadi membuat Zidya menggeram kesal. Ia paling benci bunyi nyaring jam beker bergambar anak ayam tersebut. Mengagetkan sehingga membuyarkan mimpi indahnya.

Zidya mengubah posisinya menjadi duduk lalu mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, meregangkan otot-otonya setelah beberapa jam di istirahatkan. Ia turun dari ranjang dan berjalan menuju lantai bawah, dirinya ingin memeriksa apakah Ayahnya pulang atau tidak. Pasalnya, semalam tidak ada bunyi gaduh yang membangunkan Zidya. Biasanya sang Ayah pasti menjatuhkan satu dua barang ketika pulang, ketergantungan Ayahnya pada alkohol membuat Zidya terbiasa akan hal itu.

"Ayah." Tangan Zidya membuka kenop pintu tidur sang Ayah. Matanya mengelilingi seluruh penjuru kamar mencari keberadaan empu, tapi hasilnya nihil.

'Mungkin udah ke kantor,' batin Zidya. Mengingat Ayahnya selalu datang pagi-pagi buta ke tempat kerja, bahkan sarapan bersama saja tidak sempat.

Zidya mengangkat bahu acuh, lebih baik ia bersiap untuk pergi ke sekolah. Tanpa membuang waktu, Zidya langsung melangkah kembali ke kamarnya di lantai atas. Matanya melirik ponsel di atas nakas yang sedari tadi bergetar sehingga memunculkan notifikasi.

Matanya membulat sempurna, membaca berita yang baru saja dibukanya. Bagaimana mungkin semuanya terjadi? Tidak mungkin jika Ayahnya yang melakukan kejahatan seperti itu, tapi wajah itu memang wajah Ayahnya. Ini pasti tidak benar, Ayahnya sedang bekerja jadi tidak mungkin Ayahnya melakukan semua itu.

******

"Zi, gua masuk ya."

Pintu kamarnya terbuka memperlihatkan Nadela dengan seragam putih abu-abu melekat di tubuh rampingnya. Langkah kaki membawanya menuju Zidya di tepi ranjang.

"Dela." Suara gadis itu terdengar bergetar, seakan menahan tangisannya agar tidak pecah seketika.

"Sini peluk." Nadela merentangkan kedua tangan, membiarkan Zidya menangis sejadi-jadinya di pelukannya. Ia tidak tega melihat sahabatnya terpuruk seperti sekarang ini.

Nadela menepuk-nepuk perlahan punggung Zidya, mencoba menenangkan. "Nangis aja Zi, jangan mendem semuanya sendiri. Lu punya gua sama Jef yang bakal siap ngedampingin lu bahkan di saat terburuk lu."

"Ayah Del, Ayah gua di penjara," ucap Zidya di sela-sela tangisnya. Suara gadis itu terdengar bindeng sebab menangis.

Nadela sudah tau tentang masalah itu, berita tentang Ayah Zidya yang di tangkap pihak polisi sudah menyebar luas di grub kelas atau mungkin satu sekolah? Ia tidak bisa jamin jika berita itu hanya teman sekelasnya yang tau. Nadela tidak memikirkan itu sekarang, yang terpenting baginya adalah ia harus memberi semangat lebih untuk Zidya. Karena saat ini Zidya paling membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat, bukan omongan orang-orang yang tidak memahaminya.

"Kita ngadepin ini bareng-bareng ya."

Nadela melepas pelukannya, saat dirasa Zidya sudah lebih tenang. Tangannya memegang kedua bahu Zidya kuat-kuat, lantas menatap Zidya tepat di manik mata gadis itu.

"Kita sahabatan bukan satu dua hari Zi, gua tau lu itu orang yang kuat, gua yakin lu pasti bisa ngelewatin ini. gua sama Jef selalu ngasih support terbaik biar lu tetep jadi Zidya yang kuat."

"Habis ini kita ke kantor polisi bareng-bareng, ganti baju dulu sana sekalian cuci muka. Liat tuh ingusnya kemana-mana," sambung Nadela membuat Zidya mengerucutkan bibir mendengar akhir kalimat yang diucapkan Nadela.

"Gua sama Jef tunggu bawah," ucap Nadela sambil berjalan keluar dari kamar Zidya.

"Gimana?"

Saat tiba di ruang tamu, satu pertanyaan langsung diajukan Jef. cowok itu terlihat begitu khawatir bahkan untuk status teman.

"Dia lagi ganti baju, habis ini kita anter ke kantor polisi." Nadela langsung mendudukan dirinya di sofa. Membuat Jef kembali duduk di tempatnya.

"Zia baik-baik aja?"

"Tenang kalo ada Nadela semua orang akan tersenyum, peri sebaik gua gak akan ngebiarin satu orang pun ngebuat Zia nangis lama-lama."

"Omongan lu kaya orang bener."

"Iri bilang bos!"

"Gak ada kata iri di kamus hidup gua," elak Jef seketika. Dirinya bukan iri, tetapi ia ingin menjadi orang pertama yang menenangkan Zidya ketika terluka, tapi nenek lampir Nadela selalu menghalanginya.

"Berantem terus, ini jadi nganterin gua gak?" tanya Zidya sambil melihat keduanya ketika sampai di ruang tamu.

Jef bangkit lalu menerobos Nadela begitu saja. Cowok itu ingin memastikan bahwa ucapan Nadela benar.

"Kalo lu butuh temen curhat, gua selalu ada di samping lu Zi."

Zidya tersenyum hangat mendengar ucapan Jef, lain halnya dengan Nadela yang malah meluncurkan jitakan maut di dahi cowok itu.

******

"Ayah kenapa bisa di sini?" tanya Zidya datar yang kini duduk berhadapan dengan Ayahnya yang mengenakan baju tahanan. Kalau saja ia tidak bersikap kuat, pasti airmatanya sudah tumpah sedari tadi, ia tidak mau terlihat lemah di depan sang Ayah. Tidak akan. Walaupun kenyataannya ia khawatir, seakan luka di dalam sana semakin melebar dan membesar, rasanya menyakitkan.

"Ayah di fitnah Zi, mereka nuduh Ayah nyiksa wanita yang bahkan Ayah sendiri gak kenal. Ini semua gak ada hubungannya sama Ayah." Fandy menatap dalam-dalam manik mata Zidya, mencoba mengatakan bahwa Zidya harus percaya dengan semua ucapannya.

"Kenapa yang dituduh itu Ayah? Pasti semuanya ada sebabnya kan?"

"Kamu percaya sama Ayah kan Zi, kamu pasti bebasin Ayah dari sini kan?"

"Gimana Zia mau percaya, bahkan Zia gak tau kejadian yang sebenarnya." Zidya merasa bimbang sekaligus, di satu sisi ia ingin percaya bahwa Ayahnya tidak mungkin melakukan kejadian yang mengancam nyawa manusia. Namun di satu sisi, berita pagi tadi yang ia baca mengatakan bahwa hanya ada Ayahnya yang memegang barang bukti di tempat kejadian. Ah! Memikirkan semua ini membuatnya semakin kesal.

"Maaf, waktu berkunjung sudah habis," ujar seorang polisi sambil membawa Riyanto kembali ke jeruji besi di sudut ruangan. Zidya yang melihat itu hanya bisa bungkam di tempat. Apakah Ayahnya benar-benar akan tinggal di sana dan bukan di rumah kami.

Setelah menggembok jeruji besi, seorang polisi tadi menyuruh Zidya untuk pulang serta mengantarnya menuju pintu keluar.

Baru menginjakkan kaki di pintu keluar, Zidya kembali berbalik lantas berjalan cepat menuju meja salah seorang polisi yang tadi mengantar dirinya.

Hate VS Love [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang