32. Awal Dendam

10 2 0
                                    

Albas mengendarai motor seperti orang kesurupan, meliuk-liuk dengan kecepatan tinggi tanpa memedulikan banyak orang yang meneriaki serta mengklakson dirinya.

Amarah lebih menguasai dirinya saat ini, mengetahui bahwa penghancur yang sebenarnya masih dapat menghirup napas bebas di dunia. Hatinya terasa sakit, mengingat kembali bagaimana penderitaan yang Ibunya rasakan beberapa tahun lalu.

Bagaimana bisa ia salah menargetkan? Bukankah ia malah menambah masalah baru sekarang.

Dulu Ayahnya pernah menemui Albas sekali, setelah memutuskan meninggalkan rumah dan tak kembali. Lelaki itu menceritakan bagaimana Ibunya bisa seperti saat itu dan kenapa Ayahnya memilih untuk pergi daripada merasa menderita.

Ayahnya bilang jika sang Ibu telah berselingkuh, lantas mempunyai anak dari lelaki lain, yang tak lain adalah majikan Ibunya. Lantas Ayahnya memilih meninggalkan ia dan Ibunya, karena dirasa wanita yang ia cintai telah berkhianat. Perbuatan itu tidak dapat dimaafkan.

Albas yang masih berumur 11 tahun waktu itu, hanya bisa menangis serta memohon agar kedua orangtuanya kembali bersama. Ia tidak memedulikan penjelasan sang Ayah, dirinya hanya ingin keluarganya kembali menjadi keluarga harmonis.

Namun, setelah dua tahun berlalu. Kondisi sang Ibu semakin memburuk, hingga membuat Cio membawanya ke panti rehabilitasi. Waktu itu kondisi Albas semakin terpuruk, bahkan hampir setiap hari ia memilih tinggal bersama sang Ibu di panti daripada harus kembali ke rumah yang sepi.

Tiba-tiba ucapan sang Ayah kembali berputar di memorinya, menumbuhkan rasa dendam mendalam dalam diri Albas. Ia berjanji membuat siapapun penghancur keluarganya menderita dalam hidup, agar orang itu merasakan penderitaan seperti Ibunya.

Tapi sialnya, di awal ternyata ia melenceng dari target. Setelah menemukan target yang tepat, tiba-tiba ada rasa bersalah yang muncul bercampur amarah yang menggebu-gebu.

Merasakan amarahnya kian mendidih, Albas menancap gas dengan kecepatan tinggi membelah jalanan lengang di depan sana. Hanya ada satu tujuan kini di benaknya.

******

Zidya berjalan perlahan menuju satu tempat, berharap ia dapat menemukan Albas di sana. Tempat ini harapan terakhir Zidya, setelah mencari di rumah cowok itu dan rumah bang Ghany tetapi hasilnya nihil.

Zidya mengeluarkan ponsel dari tasnya untuk melihat jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul 16.20 WIB. Dan itu berarti ia sudah keluar hampir dua jam untuk menemukan Albas. Kini hatinya terus berdoa, agar ia bisa bertemu dengan Albas.

Langkah pendeknya berjalan melewati gundukan tanah di bawah sana, melewatinya perlahan agar tidak menginjak satu pun gundukan yang terlihat.

Matanya berbinar senang, melihat satu objek di depan sana. Langkahnya semakin cepat dan sedikit berlari. Ia tidak mau kehilangan jejak Albas lagi. Sangat menyusahkan mencari cowok itu.

Bruk!

Suara orang terjatuh berhasil membuat Albas menoleh ke samping kirinya. Dengan wajah datar nan dinginnya menatap seorang gadis yang kini memasang senyum, padahal tubuh gadis itu berhasil jatuh tengkurap sempurna di atas tanah.

Zidya menyengir mengetahui Albas kini menatapnya. Dirinya seperti tersandung sesuatu saat lari tadi, tanpa bisa mengerem apalagi menghindar membuatnya terjerembap mencium tanah. Lantas ia langsung bangkit dan berganti posisi menjadi duduk, membersihkan baju serta bagian tubuhnya yang terkena tanah kering.

"Al," panggil Zidya setelah merasa tubuhnya tidak kotor lagi. Ia berjongkok, lalu mendekati Albas tepat di samping lelaki itu.

"Gua mau minta maaf atas nama Om gua." Zidya menoleh ke Albas yang tak menoleh ke arahnya sedikit pun.

Senyum kecutnya tumbuh, pandangannya lurus menatap gundukan tanah bertabur bunga di depannya. "Gua tau, Om gua udah berbuat salah sama Ibu lu. Dia pasti udah bikin keluarga lu menderita selama ini. Gua paham akan itu, gua juga bisa ngerasain gimana perasaan lu saat ini. Tapi Al, lu berhak dapet hidup yang lebih baik mulai sekarang, terlepas dari kejadian buruk yang menimpa lu selama ini.

"Gua gak mau ngebela Om gua, karena gua tau dia itu salah. Ya, walaupun gua gak tau pasti kejadiannya. Gua juga gak berusaha bikin image dia bagus di pikiran lu. Lu itu keras kepala Al dan gak ada yang bisa ngerubah sudut pandang lu terhadap orang lain, kecuali diri lu sendiri.

"Sekali lagi, gua mau minta maaf tentang tindakan apapun yang dilakukan Om gua sama Ibu lu. Gua cuma mau nyampein itu, keputusan tetep di tangan lu, Al."

Zidya berucap namun, tak berniat beranjak sedikitpun dari tempatnya.

Albas melirik Zidya dua detik, kemudian memutuskan berdiri sebelum beranjak pergi.

"Argghh."

Suara ringisan memenuhi indera pendengaran Albas, ia berhenti lalu menoleh ke belakang. Terlihat Zidya tengah tertunduk. Dengan langkah panjang ia mulai mendekati Zidya, memeriksa kondisi gadis itu.

"Kenapa Zi?" tanya Albas dengan nada khawatir sambil berjongkok di hadapan Zidya.

"Lu berdarah." Albas mengangkat tangannya menyentuh dengkul Zidya yang terlihat berdarah. Dengan cepat, Albas merobek bagian bawah seragam putihnya dan mengikat di area luka gadis itu, berharap dapat mereda rasa nyeri dan sakitnya.

"Al, kenapa seragamnya disobek," protes Zidya. Tapi, percuma Albas sudah lebih dulu membalut lukanya dengan kain seragam cowok itu.

Albas memutar badannya, masih dengan keadaan berjongkok. Zidya yang tidak mengerti hanya menautkan alis bingung.

"Naik," titah Albas.

"Gua masih bisa jalan Al."

"Naik."

Rasanya percuma berdebat dengan Albas. Lantas Zidya memilih menuruti cowok itu. Zidya menaiki punggung Albas, tepat ketika Albas berdiri, sontak Zidya melingkarkan kedua tangannya di leher cowok itu, sedangkan tangan Albas sudah menahannya agar tidak jatuh.

Sebelum akhirnya berjalan perlahan keluar dari area pemakaman.

Tanpa mereka sadari, satu orang menatap kedunya dengan hati yang memanas, sorot matanya tajam tetapi nampak kesedihan dengan jelas di sana. Tangannya mengepal kuat melihat kepergian Albas dan Zidya.

Hate VS Love [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang