33. Miza dan Rahasia

12 3 0
                                    

Area pemakaman sudah nampak sepi, bahkan tidak terlihat satu orangpun yang sekedar berziarah ataupun berlalu-lalang menggunakan kendaraan.

Albas berhenti melangkah, seketika membuat Zidya heran. Belum hilang rasa heran dalam dirinya. Zidya dibuat lebih terkejut begitu Albas menurunkannya tepat di depan pintu masuk pemakaman.

"Tunggu sini."

Kalimat Albas membuat Zidya membungkam mulut, setelah sebelumnya berniat untuk bertanya.

Albas mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya, mengotak-atik benda pipih itu sebelum menaruhnya di telinga, seperti menghubungi seseorang.

"Sekarang ke pemakaman Ibu gua. Sendiri," perintah Albas kepada seseorang di sebrang sana. Lalu mematikan telepon secara sepihak, sebelum memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.

"Lu tunggu sini, jangan kemana-mana." Albas berucap sambil menatap Zidya. Tiba-tiba Albas, membalikkan badan beranjak pergi.

"Eh? Al? Kok gua di tinggal sendiri. Woy! Ini udah sore, ntar kalo gua kenapa-napa gimana!? Al, serius ini gak lucu. AL!! AL!!" protes Zidya, tetapi sama sekali tidak dipedulikan Albas. Cowok itu terus berjalan, tidak ada tanda-tanda akan berhenti.

Zidya melihat sekelilingnya, setelah Albas menghilang di belokan jalan. Angin yang berhembus semakin kencang ditambah aura mencekam di sekitarnya, membuat Zidya bergidik ngeri sekaligus takut.

Sikap Albas tadi, benar-benar membuat Zidya kesal. Ia tau jika Albas sedang dalam emosi yang tidak stabil, tetapi seharusnya tidak membuat Zidya dalam kondisi seperti sekarang. Dan tadi cowok itu menyuruhnya untuk menunggu? Bahkan Albas tidak memberitahunya, harus menunggu siapa dan sampai kapan? Albas pikir dirinya cenayang atau sebangsa kaum yang bisa mengetahui isi pikiran seseorang.

Bulu kuduknya terus berdiri sedari tadi. Ia bahkan terus merapalkan doa-doa dalam hati. Ia menutup mata, saat dirasa aura sekelilingnya berubah menjadi horor.

"Aaaaa." Zidya sontak berteriak dan refleks meloncat dari tempatnya, ketika terdapat satu tangan tersampir di bahu kirinya.

"Kenapa Zi?"

Suara itu, Zidya seperti kenal siapa pemilik suara berat itu. Langsung saja, Zidya membalik badan, membuang napas lega ketika mendapati Jef yang berdiri tegak sambil memasang senyum tipis.

"Gua anter pulang."

******

Malam ini semua anggota Vobrama sedang berkumpul di basecamp mereka yang tak lain merupakan rumah Ghany. Bukan tanpa alasan mereka melakukan perkumpulan, melainkan karena ada urusan pertandingan sehingga mereka melakukan perkumpulan malam ini.

Seperti biasa, suasana riuh selalu terjadi jika perkumpulan berlangsung. Entah riuh karena perbincangan tentang pertandingan ataupun riuh karena si biang onar Reizy yang menciptakan candaan tidak berguna.

"Ya ampun Bang, lu gak percaya banget sama pangeran seganteng gua," ujar Reizy. Membuat suara sorakan menggema di dalam ruangan tersebut.

"Pede gila, njir."

"Gini nih kalo keset di kasih nyawa."

"Sekali lagi lu ngomong, gua sumpel mulut lu pake sendal," seru bang Ghany.

"Lu udah pernah tanding, di sini gua mau kasih kesempatan buat yang lain. Berhubung lawan tandingnya gak seberat sebelumnya. Gua gak mau mereka merasa gak dianggep, padahal mereka juga bagian dari vobrama. Keadilan selalu gua junjung tinggi," lanjutnya.

"Ah gak seru."

Lemparan kacang langsung didaratkan semua anggota vobrama ke arah Reizy. Segera cowok itu menumpuk kedua tangan di depan wajahnya, membuat pertahanan agar kadar ketampanan wajahnya tetap terjaga.

"Permisi."

Seketika suara itu mengintrupsi mereka semua, kini semua pandangan menuju pada satu objek yang sama di ambang pintu masuk.

"Nyari siapa?" Kali ini Renal yang bertanya. Karena tempat duduk lelaki itu memang dekat dengan pintu.

"Saya nyari Albas."

Anggota vobrama sontak mengerjit heran, bahkan mereka saling melempar tatapan bertanya kepada lainnya.

"Al, ada yang nyari," panggil Renal. Seketika membuat Albas tersentak dari lamunannya. Kemudian menautkan alis bingung menatap Renal yang hanya mengendikkan bahu.

Albas berjalan keluar ruangan, wajahnya tetap datar setelah melihat siapa yang datang mencarinya.

"Kenapa?"

"Gua tau lu di sini, dari Jimy," ucap wanita itu.

"Tujuan lu dateng ke sini apa?" tanya Albas lagi tanpa berniat basa-basi.

"Em ... rahasia gua tetep lu jaga kan?"

"Udah, nanya itu doang?"

"Gua harap lu gak bocorin rahasia itu ke orangtua gua atau gua juga bakal bongkar kebusukan lu."

"Lu boleh pulang, kalo udah selesai ngomong."

"Kalo lu butuh bantuan lagi, bisa hubungin gua. Miza, kalo lu lupa nama gua," ucap Miza diakhiri seulas senyum, sebelum beranjak pergi.

Di dalam ruangan semua nampak bingung melihat kedatangan wanita yang mencari Albas, tetapi beberapa detik kemudian bang Ghany kembali membicarakan masalah siapa yang akan melakukan tanding, sehingga membuat semuanya kembali berkonsentrasi mendengarkan.

Lain halnya dengan Reizy yang memilih menanyakan perihal wanita tadi pada Nadela. Lebih baik bertanya daripada sesat di jalan kan? Ia hanya ingin memastikan apakah memang hubungan Albas dengan Zidya sudah kandas dan Albas memiliki pacar baru, atau mungkin wanita tadi mencari Albas untuk meminta pertanggung jawaban?

Albas kembali duduk pada tempatnya di pojok ruangan. Pikirannya sudah kacau, ditambah dengan kedatangan Miza membuat kepalanya serasa ingin pecah. Sekarang dirinya harus bagaimana? Tidak mungkin ia mengaku, apalagi menjelaskan semuanya. Keadaan pasti akan bertambah kacau dan membuat beberapa orang yang tidak ada sangkut pautnya ikut menderita.

Albas tidak mau itu terjadi. Apa mungkin ia harus belajar mengikhlaskan segalanya saja dan membuka lembaran baru dengan bahagia seperti kata Zidya?

Hate VS Love [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang