9. Berubah

21 3 0
                                    

"Jika topengku terbuka ketika bersamamu, jangan terluka. Karena itu nyata."
_____________________________________▪


Albas berjalan menuju kamar mandi pria untuk kembali bertukar baju dengan temannya. Terkadang ia mendapat pandangan heran, tak jarang banyak wanita yang menatap lapar ke arahnya saat berjalan di koridor.

Untung salah satu pedagang di sekolahnya dengan baik hati mau meminjamkan motor untuk ke sekolah Zidya.

"Mana baju gua?" teriak Albas dari depan pintu kamar mandi yang tertutup.

Pintu terbuka, menunjukkan cowok tinggi bertelanjang dada. Jika ada cewek yang melihat bisa dipastikan akan pingsan di tempat atau mungkin menjadi seperti cacing kepanasan.

"Tai lu. Lama banget."

"Mesra-mesraan dulu ama calon bini gua."

Albas membuka seragam putihnya, melemparkan ke kepala cowok itu.

"Mending lu pindah, daripada nyusahin orang." Cowok berambut ikal itu memakai seragamnya cepat.

Satu toyoran mendarat manis di kepala si cowok yang mendelik Albas tajam. Tanpa memedulikannya, Albas berlalu keluar menuju belakang sekolah. Karena hanya dari sana ia bisa bebas keluar masuk tanpa takut ketahuan.

******

Langkah pendeknya mulai memasuki pagar rumah setelah berterima kasih kepada Jef. Zidya bersyukur mempunyai sahabat seperti Jef, cowok itu tidak marah sama sekali atas kejadian di kantin, walaupun banyak pertanyaan di utarakan pada dirinya perihal Albas. Yang terpenting persahabatan mereka tidak kandas atas masalah sepele.

Zidya membanting dirinya di atas ranjang, cape sekali rasanya. Kelas 12 yang melelahkan, dengan banyak tugas dan waktu belajar yang padat, ia harus membuang jauh-jauh keinginan rebahan seharian.

TING!!TONG!!

Zidya menggeram kesal, baru beberapa menit tubuhnya rileks, sekarang siapa yang mengganggunya. Bel rumahnya terus berbunyi, dengan langkah malas ia turun ke lantai bawah untuk melihat.

Tangannya membuka kenop pintu pandangannya tidak melihat siapa-siapa, langkahnya semakin maju untuk mengecek lebih jelas.

Tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang menutup mulutnya dengan sapu tangan. Semenit kemudian kesadarannya hilang.

******

Zidya terbangun di ruangan kosong cukup besar yang gelap. Tersadar dengan cepat bahwa tubuhnya terikat di kursi. Kakinya juga diikat, hingga sulit untuk bergerak. Zidya menyipitkan mata, untuk melihat objek di depannya lebih jelas. Sebab hanya ada cahaya dari sebuah lilin di atas meja.

Di sana, di sebrangnya. Sang Ayah terlihat pingsan dengan keadaan diikat seperti dirinya. Sumpah serapah sudah ia siapkan untuk siapa pun yang melakukan tindakan ini.

"YAH. AYAH," teriak Zidya menggema di ruangan tersebut.

"Berisik honey."

Suara lembut nan dingin itu membuat Zidya mengedarkan pandangan untuk mencari. Ia yakin, jika orang itu yang merencanakan semuanya.

"Keluar lu. Dasar brengsek!" umpat Zidya suaranya sudah tidak bisa di bilang stabil. Orang itu sudah membuatnya naik darah.

Perlahan satu tubuh tegap berjalan ke arahnya, ia menatap tajam orang itu. Walaupun jantungnya berdegup kencang, keringat dingin membanjiri dahinya. Tapi sebisa mungkin Zidya tidak memasang ekspresi takut.

Langkah itu semakin dekat dan berhenti tepat di depan meja, ia masih belum bisa melihat wajahnya.

Tiba-tiba orang itu menggebrak meja, membuat Zidya menggigit bibirnya takut. Sekarang Zidya tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri kalau ia sangat takut.

"Gak usah takut honey."

satu tangan terulur mengelap keringat di dahi Zidya yang langsung membuang muka. Tidak rela bila wajahnya terkena sentuhan menjijikan itu.

Tawa menakutkan terdengar di seluruh penjuru ruangan, "Seharusnya gua yang merasa terhina, karena megang penghancur kaya lu." Suara orang itu berubah menjadi amarah, membuat Zidya semakin menggigit bibirnya kuat-kuat.

"Apa maksud lu?" tanya Zidya pelan. Rasanya air matanya akan meluncur deras tepat pada kedipan selanjutnya.

"Anak penghancur gak tau diri. Gua ngirim lu ke sini bukan buat ngedongeng penghantar tidur."

"Tanda tangan." Orang itu mengulurkan sebuah pulpen dan meletakkan di atas meja.

"Honey bikin gua marah sih, sampe lupa tangannya belum di buka." Orang itu berjalan ke belakang Zidya, membuka simpul ikatan di sana. Tangannya mengelus perlahan pergelangan Zidya yang memerah.

"Pasti sakit ya? Sini gua usap lembut."

Zidya menarik tangannya, pergelangannya amat sakit, ia mendelik orang yang sudah kembali berada ke hadapannya. Rasanya ia ingin menampar dan memukul orang itu tanpa ampun.

"Tanda tangan."

Pandangannya beralih pada kertas bermaterai, tulisannya tidak terbaca jelas, dan yang ia tau tulisan itu mencapai berlembar-lembar. Jika ini hubungannya dengan bisnis ayahnya kenapa ia juga terseret? Bahkan berkunjung ke kantor ayahnya saja tidak pernah, apalagi bertemu relasi bisnis ayahnya.

"Buat apa?"

"Tanda tangan atau si tua itu bakal mati."

"Gua bakal tanda tangan, tapi ada satu syarat. Liatin muka lu. Gua janji."

orang itu menunduk agar wajahnya terkena cahaya lilin yang semakin memendek..

"Udah puas honey?" ucap orang itu menaikkan satu sudut bibirnya.

"Al?" Zidya lagi-lagi dibuat terkejut, baru pagi tadi cowok itu mengatakan kalimat manis dan sekarang ia dibuat tidak percaya bahwa Albas yang dikenalnya berubah menjadi penjahat.

"Maksud lu apa? Kenapa lu lakuin ini? Lu marah gara-gara kejadian siang tadi? Kenapa harus bawa-bawa ayah gua? Dasar brengsek!!" cerca Zidya, suaranya terdengar parau menahan diri agar tidak menangis sejadi-jadinya.

"TANDA TANGAN!!" bentak Albas.

"Brengsek! Kurang ajar! Bangsat!" Cacian terus keluar dari mulut Zidya, tangannya langsung menandatangani surat itu. Ia hanya ingin ayahnya selamat dan untuk Albas, tidak akan ada ampun untuk cowok itu.

"Mau lu apa lagi hah!?"

"Mulut manisnya tutup rapat, gak boleh ada yang tau semua ini selain kita atau gua akan bertindak." Suara Albas penuh penekanan sambil menghapus jejak air mata dari wajah Zidya.

Zidya tidak bisa menahan air matanya lebih lama, isakan tangis mulai menggema di ruangan besar tersebut. "Lu brengsek Al, lu jahat, kenapa lu lakuin ini?"

Albas menatap tidak tega kepada Zidya. Memang seharusnya keluarga itu mendapat pembalasan yang setimpal bukan? Namun, wajah Zidya yang sendu membuat Albas merasa bersalah pada gadis itu.

Albas menggeser meja ke samping, perlahan ia melangkah maju. Membawa Zidya ke dalam dekapannya, membiarkan gadis itu menangis sejadi-jadinya di dada bidangnya.

Ada apa dengan dirinya, seharusnya ia bahagia karena semua rencananya berjalan lancar, jalan untuk membalas dendam semakin terbuka lebar. Ia sepertinya sudah gila sekarang, dengan melihat Zidya menangis saja seakan-akan ada palu besar mendarat di hatinya. Ia merasa sesak, rasanya ingin menenangkan agar air mata itu tidak terus turun.

Albas lebih suka Zidya yang tersenyum daripada sedih seperti sekarang ini.

Hate VS Love [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang