19. Masih Berduka

15 3 1
                                    

Happy Reading!!

***

Sudah beberapa jam sejak pemakaman mendiang Ibunya dilakukan, kini para peziarah sedikit demi sedikit mulai membubarkan diri menuju rumah masing-masing. Di halaman rumahnya hanya tersisa Geng Vobrama serta beberapa saudaranya yang sibuk mengobrol tentang hal apapun.

Jangan tanyakan Zidya, gadis itu sudah izin kembali ke sekolah setelah lebih banyak berbicara dengan Alfi, saudaranya, entah kenapa cowok itu langsung terlihat akrab dengan siapapun yang baru pertama kali di temui. Apakah sosok Alfi begitu hangat? Mungkin untuk orang-orang iya, tapi tidak berlaku untuk dirinya. Menurutnya Alfi tetaplah musuh dalam selimut.

"Duit kemaren lu menang lomba masih ada." Bang Ghany memulai pembicaraan setelah dirasa suasana di sekitarnya bagai kuburan. Mendengar itu Albas menatap Bang Ghany dengan tatapan menuntut penjelasan. "Lu bisa ke luar kota buat nenangin diri."

"Bener juga lu Bang, gua lagi pusing banget nih sama tugas sekolah," timbrung Reizy sembari memijat pelipisnya. Mengingat bahwa penderitaannya bertambah berkali-kali lipat di kelas 12. Jangankan untuk sekedar bermain seharian, tidur lebih lama 1 jam saja ia akan langsung mendapat omelan dari Ibunya. Kalaupun ia bisa berkumpul selama ini, pastinya karena ia selalu kabur dari rumah dengan berbagai cara.

"Liburan cuma berlaku buar Albas. Kalo lu mau liburan, usaha." Ucapan Bang Ghany seketika membuat Reizy memanyunkan bibir kesal.

Tangan kanan Amir terulur menoyor dahi Reizy, "Muka lu gak usah kaya perawan ditinggal kawin gitu."

"Eh dugong, muka seganteng gini di bilang perawan. Ini tuh bukan perawan tapi sayang kamyu yang sering mangkal di lampyu merah, chin," ujar Reizy sambil mencolek dagu Amir serta mengedipkan mata genit. Sontak itu membuat tawa anggota Vobrama pecah seketika, termasuk Albas yang merasa terhibur, walaupun sakit di hatinya masih ia rasakan. Setidaknya untuk sekarang ia memahami bahwa masih ada orang terdekatnya yang akan setia menemani entah karena tawa atupun airmata.

"Anjir, dagu suci gua ternodai." Amir terus mengelap dagunya yang di sentuh Reizy, seakan ada kuman yang ditularkan cowok itu melalui tangan.

"Perasaan tadi gua lagi ngasih saran? Kenapa jadi ngomongin hal gak berfaedah kaya gini?" tanya bang Ghany menengahi Reizy maupun Amir agar tidak melanjutkan aksinya.

"Gimana Al?" lanjutnya sambil menatap Albas meminta jawaban.

"Gak perlu Bang, gua bakal baik-baik aja di sini. Lagian mau kemana pun gua pergi, gak bakal ngebuat memori hari ini hilang gitu aja. Lu tau gua kan Bang, gua gak akan pernah ngehindar dari masalah dan jadi pengecut."

******

Setelah kembali dari rumah Albas, Zidya lebih banyak melamun. Bahkan ia sempat mendapat teguran dari Bu Ria –Guru matematika– yang terkenal di siplin dan tidak menyukai ketika mendapati murid tidak memperhatikan pelajarannya. Bahkan tak segan-segan membiarkan murid itu keluar kelas dan besoknya wajib menjelaskan materi yang tertinggal di depan kelas, tanpa melihat catatan.

"Zidya!" tegur Bu Ria tegas.

Zidya tersentak kaget saat mendapat senggolan lengan dari Nadela lalu melirik sekitar, matanya beralih menatap guru di depan kelasnya dengan tatapan bingung.

"Kamu mendengarkan saya tidak?!"

"Denger Bu," jawab Zidya sedikit ragu.

"Jelaskan!" suruh Bu Ria tegas dengan mata melotot. Sebagian murid bergidik ngeri melihat itu.

"Hah?"

"Jelaskan! Tadi kamu bilang mendengarkan saya."

Zidya seperti seseorang yang linglung, ia merasa bingung, heran sekaligus tersudut melihat mata hitam Bu Ria menatapnya intens. Zidya melirik Nadela meminta penjelasan, sedangkan yang ditatap hanya menggelengkan kepala serta mengedikkan bahu.

Matilah dirinya! Sekarang apa yang harus ia perbuat. Mulutnya serasa kelu untuk mengeluarkan suara, ditambah keheningan kelasnya sukses membuat Zidya berkeringat dingin di tempat.

Sejujurnya Zidya tidak mengerti pertanyaan Guru itu, apa yang harus ia jelaskan? Mendengarkan saja tidak bagaimana mungkin dapat menjelaskan. Dirinya kiri Bu Ria menanyakan apakah ia dengar saat di panggil atau tidak. Sepertinya ia salah mengartikan.

"Bu." Suara berat itu berhasil membuat seluruh pasang mata menatap sang pembicara.

"Kenapa Jef?" tanya Bu Ria saat melihat Jef berdiri dari tempat duduknya sambil mengacungkan jari telunjuk.

"Mungkin Zidya masih merasa berduka atas kepergian saudara jauhnya, jadi dia gak bisa berkonsentrasi penuh dalam pelajaran Ibu."

Penjelasan Jef seketika membuat Bu Ria menunduk, beberapa detik kemudian Bu Ria menatap Zidya penuh rasa bersalah. "Ibu turut berduka cita dan maaf karena saya tidak tau kamu sedang berkabung. Ibu tidak akan menghukum kamu, tapi tolong jangan melamun dalam pelajaran saya."

"Iya Bu." Zidya meatap Jef yang juga tengah menatap dirinya, seulas senyum mengembang sempurna di bibir Zidya seakan mengucapkan terimakasih. Jef hanya mengangguk sebelum kembali duduk.

"Ada masalah?" tanya Nadela yang merasa Zidya memang terlihat sedikit aneh sejak dari rumah Albas. Padahal di sana ia tidak melihat Albas maupun Zidya mengobrol. Tapi kenapa Zidya lebih banyak melamun?

Zidya menggeleng, "Gak ada Del."

******

Sudah sehari berlalu setelah kepergian Ibunya. Albas lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan sekolah dan bekerja paruh waktu. Ia tidak mau berduka cita dalam waktu lama, jika Ibunya melihat itu di sana, wanita itu pasti akan sedih lalu menjadi arwah yang memarahinya agar Albas bisa mengikhlaskan dan Ibunya akan beristirahat dengan damai.

"Al, gua minjem celana dalem lu ya, punya gua kotor semua."

Albas memutar bola matanya malas mendengar teriakan itu. Jika bukan karena terpaksa ia tidak akan mau membiarkan cowok manja itu berada di rumahnya. Semenjak kepergian Ibunya, Alfi memilih pindah di rumah Albas, padahal ia sudah menolak terang-terangan.

Untuk alasan apapun ia tidak mau mengizinkan siapapun berada di rumahnya, walau sekedar menginap. Tapi saudaranya itu sungguh keras kepala, Alfi memilih tidur di halaman rumah ketika Albas mengusir cowok berambut pirang itu, tentu saja karena ia tau Alfi bermulut besar dan akan melaporkan kejadian itu kepada si tua bangka, yang nantinya mempunyai alasan untuk memarahi Albas hingga pagi terbentang. Lebih baik Ia memilih jalan aman, menerima Alfi, daripada berurusan panjang dengan Kakeknya. Menyusahkan.

"Mau kemana Al?"

"Bukan urusan lu. Gua mau pas gua pulang, semua area rumah udah bersih dan gak boleh ada satu debu pun yang ketinggalan," jawab Albas sambil melangkahkan kaki keluar rumah tanpa niat berhenti ketika gerutuan Alfi terdengar di belakang sana.

"Gua saudara lu, bukan pembantu. Masih aja perhitungan kaya emak-emak kos."

******

Tempat teduh tanpa ada tanda-tanda kehidupan itu tak membuat Albas merasa takut ataupun cemas, yang ada dirinya merasa teduh dan juga sesak secara bersamaan di dalam hatinya.

Albas menatap batu nisan bertuliskan Rosita Zery Binti Gecio Zery cukup lama. Manik mata hitamnya menatap sendu makam yang terlihat baru itu. Sesekali mengelus puncak batu nisan, menyalurkan kerinduan, kesedihan, kemarahan, kesakitan dari dalam dirinya. Sepertinya mulai sekarang ini akan menjadi tempat favorit Albas sekedar menenangkan diri.

Satu tepukan dipundaknya membuat Albas seketika mendongak. Albas berdiri, menatap tajam satuobjek di hadapannya.

Hate VS Love [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang