7. You're mine

33 3 0
                                    

"Setiap kata yang terucap untuk memiliki, melindungi dan mempertahankan mu. Aku serius."
___________________________________▪

Albas menatap gadis di hadapannya meminta penjelasan. Sekarang sudah malam untuk seorang gadis keluar sendiri tanpa pengawasan. Untung hal tadi terjadi di tempat kerjanya, kalau di tempat lain, pasti semuanya akan lebih parah.

"Gua mau nyari ayah gua."

"Kenapa nyari ayah lu di sini? Sekarang bahkan udah malem, seharusnya lu gak keluar sendirian Zi."

Zidya tersenyum kecil mendengar penuturan Albas. "Biasanya tua bangka itu suka main di club, gua gak mau aja dia pulang bawa jalang-jalang kurang duit lagi. Jadi gua mau jemput dia."

"Ayah lu yang mana?"

Zidya mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru club. Tepat di pojok sana, ayahnya sudah tidak sadarkan diri, di apit oleh dua wanita seperti ondel-ondel.

"Itu." Albas mengikuti arah tunjuk Zidya. Rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat, matanya menyiratkan kebencian mendalam.

"Gua ke sana dulu Al." Zidya berlalu dari hadapan Albas yang mengawasi keduanya sangat intens.

Albas benar-benar ingin menghabisi brengsek itu, amarah yang ditahannya selama ini seakan ingin meledak sekarang. Siap memberi pukulan bertubi-tubi tanpa ampun, biar brengsek itu cepat pergi ke neraka.

"Pulang dulu ya Al. Makasih loh tadi udah di tolongin," ucap Zidya di akhiri senyum tulus. Gadis itu melangkah perlahan menuju pintu keluar, tentunya karena ia memapah tua bangka yang tak lain adalah ayahnya.

Albas tak menjawab apapun. Sorot matanya menatap kepergian dua makhluk itu penuh kebencian.

******

Zidya membawa ayahnya dengan susah payah menuju pintu utama. Langkahnya terhenti, melihat kotak berwarna hitam diikat pita merah tergeletak di depan pintu rumahnya. Apakah pengiriman paket terus beroperasi hingga malam? Tapi biasanya jika ada paket, pasti di taruh di dekat pagar. Apa mungkin ada penyusup? Sangat kurang kerjaan sekali, bukannya mencuri malah memberi.

Zidya membungkuk, mengambilnya dengan tangan kirinya yang kosong. Ia bergegas menuju kamar ayahnya, agar tubuh tua bangka itu tidak menyusahkannya lagi.

Tangannya membanting tubuh ayahnya di atas ranjang size king, sebelum Zidya berjalan keluar kamar dan menutup pintu perlahan. Langsung saja ia masuk ke dalam kamar yang berada di depan kamar ayahnya.

Mendudukan dirinya di tepi ranjang, mantap lekat kotak di tangannya. Apakah ia punya penggemar rahasia? Bahagianya jika itu benar.

Tangannya yang tidak sabaran langsung membuka kotak hitam. Zidya mengerjit heran, menatap tak percaya pada isinya. Yang benar saja, kenapa juga harus mengirimkan benda seperti ini? Sang pengirim sudah tidak waras.

Apakah kalian ingin tau isinya? Pecahan kaca.

Setelah menaruh kotak aneh itu di bawah tempat tidur, Zidya memilih untuk membaringkan dirinya dan secepat mungkin tidur. Besok saja mengurus kotak itu.

******

Albas memasuki ruangan ibunya. Malam ini, setelah pulang kerja ia memilih untuk menginap di sini. Menemani sang Ibu semalaman, mungkin esok Ibunya akan berulah lagi dan tidak mungkin ia bisa sedekat ini.

Pandangan Albas sendu, ibunya sosok yang kuat. Pasti suatu hari nanti wanita yang paling ia cintai bisa kembali sembuh. Albas yakin itu.

"Ibu pernah bilang ke Albas, kalau kita gak boleh nyimpan dendam kepada siapapun, karena semua kejadian merupakan takdir yang pasti terjadi dan kita harus bisa mengambil hikmahnya." Albas menjeda ucapannya "Tapi maaf Bu, Al gak bisa ngikutin apa yang Ibu suruh. Al emang anak durhaka. Al cuma mau Ibu gak marah, makanya Al bilang sekarang."

Pandangan Albas tak lepas dari wajah cantik sang Ibu, ia ingin melihat wajah itu kembali tersenyum, kembali melemparkan omelan kepada dirinya. Ia tidak kuasa melihat sang Ibu yang terbaring seperti sekarang.

"Nanti kalau Ibu Negara udah sembuh, Al janji semua masalah pasti selesai. Jadi Ibu gak perlu marah-marah sama Al, karena ngebantah perkataan Ibu."

"Malem ini Al mau tidur di sini. Kalo di rumah di temenin suara jangkrik terus. Bosen."

******

Sinar matahari masuk melalui celah-celah gorden kamar membuat tubuh Zidya menggeliat. Merasa terganggu. Dengan langkah gontai gadis itu menuju kamar mandi, sebelum bersiap-siap untuk berangkat sekolah.

Zidya menatap pantulan dirinya di cermin. Mengambil bedak bayi ditangannya dan menepuk-nepuk pelan di wajahnya. Setelah dilihat sudah rapi, langkahnya bergegas turun menuju meja makan.

Rumah kembali sepi, Zidya hanya bisa membuang napas pasrah. Sepertinya memang ia di takdirkan untuk kesepian, melakukan semuanya sendiri.

Setelah selesai menyantap roti dan susu, ia berlalu keluar rumah. Matanya menatap tidak asing cowok yang berdiri di luar pagarnya. Dengan langkah cepat ia mendekat, membuka pagar dan kembali menguncinya.

"Ngapain Al?" Senyum Zidya sudah terpasang manis sedari tadi. Siapa yang tidak suka, melihat cogan di pagi hari.

"Jemput lu."

"Gua?" Zidya menunjuk dirinya dengan wajah bingung. "Gua udah mesen ojol, paling sebentar lagi nyampe."

"Cancel!!" Suara Albas terdengar tegas. Mengisyaratkan bahwa ucapannya adalah tuntutan.

"Kasian Al, dia udah jauh-jauh masa gua cancel."

"Lu gak kasian sama gua? Gua rela pagi-pagi ke sini tanpa lu pesen dan gua gak bikin lu nunggu."

Kenapa jantungnya jadi berdegup seperti habis lari maraton, ya Tuhan bahkan pipinya terasa panas. Mengapa reaksi tubuhnya berlebihan seperti ini. Padahal ucapan cowok itu tidak menjurus pada gombalan.

"Tapi kasian Al. Dia nyari rejeki buat keluarganya, gak tega gua." Zidya mencoba menetralkan suaranya. Ia tidak mau dianggap mudah di rayu. Gak apa-apa kan jual mahal sedikit.

"Ini bakal jadi kegiatan gua sehari-hari nantinya."

"Maksud lu?" tanya Zidya tidak paham kemana arah pembicaraan Albas.

"Nganterin lu kemana-mana bakal jadi keseharian rutin gua. Kalo lu nolak, gua pastiin semua ojol di dunia ini gak akan ada yang bisa nganter lu," ucap Albas. Wajah cowok itu tidak menyiratkan sedikit pun kebohongan.

"Masih pagi Al, jangan bercanda terus. Kita aja gak ada hubungan dan sekarang lu persis pacar yang posesif."

Albas membungkuk sedikit, mencoba mensejajarkan wajahnya dengan Zidya, mencondongkan wajahnya sehingga mempersempit jarak keduanya, ujung hidung mereka bahkan saling bersentuhan. menatap kedua mata indah Zidya dalam-dalam. Satu sudut bibir Albas tertarik ke atas membentuk smirk. Sialnya itu menambah aura kegantengan dalam diri Albas.

"Now. you're. mine."

Hate VS Love [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang