Dari arah dapur, Ghany berjalan santai sambil membawa satu gelas air putih di tangan kanannya. Setelah di ruang tamu, ia langsung meletakkan gelas itu di atas meja. Matanya menatap sekilas seorang gadis yang kini terlihat sedikit gelisah, mungkin tidak nyaman karena hanya ada mereka berdua di dalam ruangan.
Ghany menarik sebuah bangku kayu dari pojok ruangan sebelum mendudukan dirinya di sana.
"Minum Zi."
"Eh, iya ..." Zidya menggantungkan kalimatnya, berpikir sejenak kira-kira ia harus memanggil cowok di hadapannya dengan sebutan apa.
"Panggil bang aja, anak-anak juga sering manggil gua kaya gitu," ucap Ghany seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan Zidya.
"Eh, iya bang."
"Tadi lu bilang mau nanya sesuatu ke gua, apaan?"
"Sebenernya mau tanya tentang Albas." Nada suara Zidya terdengar ragu.
"Dia macem-macem sama lu?"
Zidya menggeleng cepat, "Gak bang. Malah aku mau tanya kenapa Albas akhir-akhir ini kaya ngehindar. Mungkin bang Ghany tau alesannya?"
"Gua gak suka terlalu formal, make lu-gua aja," perintah Ghany yang hanya dibalas Zidya dengan senyuman.
Ghany berpikir sejenak, lalu membuka mulut. "Mungkin dia masih berduka. Setau gua dia cuma punya Ibunya selama ini, jadi wajar aja sikap dia rada berubah karena merasa kehilangan. Lu harus ngertiin dia, Zi."
"Tapi bang, Albas itu sampe gak mau ngomong sama gua, bukan kaya Albas yang biasanya."
"Dulu alesan Albas pas gabung sama Vobrama itu demi dapet duit buat ngebiayain Ibunya di panti rehabilitas. Padahal gua udah tolak mentah-mentah karena umur dia waktu itu masih 14 tahun bahkan KTP aja belum punya. Tapi, dia tetep kekeh pengen gabung.
"Reizy yang notabenya temen Albas sama adek dari temen gua, dia ngasih saran buat liat dulu kemampuan Albas. Dan lu tau Zi, dia bener-bener berusaha keras buat bisa gabung. Sampe gua tau kalo dia emang ngelauin ini bukan buat ketenaran semata di jalan raya. Dari situ gua tau kalo dia emang sayang dan menghargai Ibunya walau gak sehat secara batin.
"Dia bahkan pernah cerita ke gua salah satu impiannya itu pengen liat Ibunya sehat dan bahagia kaya dulu. Kan lu pacarnya Albas, Zi. Lu harus lebih paham tentang dia. Jangan anggep dia berubah karena gak ngelakuin hal kecil buat lu, harusnya lu lebih ngertiin dia yang kehilangan hal besar di hidupnya."
Zidya tertegun beberapa detik mendengar penjelasan Ghany. Bagaimana mungkin dia berpikir bodoh dengan menuduh Albas macam-macam. Ah, memang dirinya terlalu egois. Tapi kan, tetap saja Albas juga salah, kenapa harus diam seribu bahasa dan menjauhinya seperti memiliki masalah besar kepadanya.
"Lu ngerti maksud gua kan Zi."
Suara Ghany seketika menyadarkan Zidya dari lamunan. Lalu mengangguk mengerti.
******
Di dalam kamar, Zidya terus mondar-mandir memikirkan setiap kata yang diucapkan Bang Ghany. Zidya sebenarnya mengerti tentang rasa sayang Albas yang besar terhadap Sang Ibu. Bahkan tanpa cowok itu katakan sekalipun.
Dirinya hanya tidak mengerti kenapa Albas harus menghindarinya, apakah ia seburuk itu dalam benak Albas, sehingga tak mau berbicara bahkan menatapnya?
Zidya bukan tidak ingat kalau Albas membenci Ayahnya. Ia ingat dengan jelas malah akan hal tersebut. Bahkan setiap tatapan tajam yang diberikan Albas untuk dirinya jika mengungkit masa lalu cowok itu, ia hafal betul.
Sekarang ia ingat, tatapan Albas terakhir kali sama seperti ketika cowok itu membahas tentang Ayahnya dan masa lalu Albas. Tapi, kenapa? Oh, apakah Albas mengingat masa lalunya karena melihat dirinya, Albas jadi teringat Ibunya yang menderita selama ini karena melihat dirinya.
Kini Zidya mengerti. Mungkin lain kali jika ingin bertemu Albas ia harus menggunakan cadar agar cowok itu mau berbicara dengan dirinya.
Zidya menjatuhkan dirinya dia atas kasur, menatap langit-langit kamarnya sambil memikirkan cara membuat Albas agar tidak menghindarinya lagi.
Tekk
Zidya beralih posisi menjadi duduk, ketika kakinya yang berayun di tepi kasur tidak sengaja mengenai sesuatu dari bawah sana. Wajahnya melongok ke bawah kasur. Semenit kemudian, ia mengangkat badannya agar kembali tegak.
Bagaimana mungkin ia sampai lupa tentang kotak misterius.
Tangannya mengambil ponsel di atas nakas. Lalu mengetikkan sesuatu di sana dan mengirimnya.
******
"Ngapain Zia minta kita ke sini?" tanya Nadela heran. Jef hanya mengedikkan bahu acuh tak acuh.
Sekarang keduanya sedang berada di salah satu kedai kopi, tempat mereka biasanya bertemu untuk sekedar mengobrol dan juga mengerjakan tugas. Beberapa jam yang lalu, keduanya mendapat chat dari Zidya untuk berkumpul di sini. Tanpa alasan yang jelas, sebab ketika ditanya, Zidya tidak membalas sama sekali. Akhirnya karena penasaran Nadela dan Jef memilih datang saja.
Nadela melihat jam di pergelangan tangannya, "Lama banget, biasanya dia gak pernah telat kalo ketemuan," keluh Nadela.
Lain halnya dengan Nadela yang terlihat bete, Jef justru sibuk memainkan game di ponselnya, sesekali menyesap ice americano yang sudah ia pesan.
Brakk!
"Maaf telat," ucap Zidya ketika baru sampai sambil membersihkan tangannya yang habis mengangkat tiga black box.
"Apaan nih Zi? Hadiah buat kita berdua?" tanya Nadela penasaran. Matanya berbinar bahagia melihat ketiga kotak tersebut. Tanpa pikir panjang ia langsung mengambil satu kotak paling atas untuk melihat isinya.
"Punya siapa Zi?" tanya Jef heran sembari memasukkan ponsel ke saku celananya.
"Punya gua. Dan ini juga alesan gua minta kita ketemu di sini."
"Anjir, apaan nih?" Nadela mengangkat sebuah silet berkarat dari dalam kotak serta secarik kertas lusuh. Membuat Jef bertambah heran, sedangkan Zidya menatap tidak minat dan memilih mendudukan dirinya yang terasa pegal.
"Lu sehat Zi, ngasih kita ginian?"
Jef menarik paksa secarik kertas dari tangan Nadela, lalu membacanya. "You, go to hell."
"Hah!? Gila lu Jef, masa nyuruh gua ke neraka. Kurang ajar," pekik Nadela tidak terima.
"Bego!" ujar jef sambil melemparkan kertas dari tangannya ke wajah Nadela.
"Serius itu tulisannya?" Suara zidya terdengar tidak percaya.
"Lu belum buka?"
"Belum, karena gua yakin pasti isinya gak jelas kaya dua kotak lainnya," jelas Zidya membuat pandangan Jef serta Nadela menatap tidak mengerti.
"Gua juga gak tau dari siapa kotak-kotak ini, makanya gua minta bantuan kalian hari ini, siapa tau ada yang paham kenapa gua dikirimin kotak aneh."
"Menurut pandangan gua yang suka nonton film detektif, pasti ada maksud tersembunyi yang mau di sampein pengirim, jadi kaya teka-teki gitu," terka Nadela.
"Tapi kenapa isinya serem-serem?" Zidya masih belum paham.
"Lu ada buat masalah?" tanya jef serius. Zidya balas menggeleng.
"Pasti pengirimnya orang yang lu kenal." Nadela kembali mengeluarkan pendapat.
"Gimana maksud lu?"
"Gini nih, gimana dia bisa tau rumah lu kalo dia gak deket sama lu, atau mungkin ini paket nyasar kali."
"Kayanya gak mungkin deh, soalnya kotak-kotak ini ada di depan pintu masuk gua. Masa iya tukang paket bisa ngelempar sampe depan pintu rumah."
"Kalo gitu berarti orang yang ngirim ini semua orang terdekat lu."
Tanpa ketiganya ketahui, ada seseorang yang duduk tak jauh dari tempat mereka dan mendengarkan pembicaraan tersebut dengan seksama. Satu sudut bibir orang itu terangkat membentuk senyum sinis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate VS Love [Completed✓]
Teen Fiction⚠️ Aku saranin baca dari awal, biar gak bingung sama alur ceritanya ⚠️ 🌵🌵🌵🌵 Albas Geozery terkenal sebagai raja jalanan yang selalu memenangkan berbagai macam balapan, seorang siswa yang bahkan menjadi incaran para wanita seantero sekolah. Siap...