31. Terbongkar teka-teki 2

10 2 0
                                    

Suasana ruang tamu rumah Zidya kini terasa begitu tegang, seakan-akan siap terjadi perang dunia ketiga detik ini juga. Terlihat Albas duduk tegang dengan tatapan mematikan menatap lurus Anto, berbanding terbalik dengan Anto yang duduk gelisah di sebrang sana. Tapi, pandangannya menatap Albas dengan sorot sedih, menyesal, malu.

Zidya yang memang tidak mengerti apa-apa, hanya duduk menunggu yang akan terjadi. Tak berniat mengeluarkan pertanyaan yang sudah mengganjal hatinya sedari tadi.

"Apa hubungan Anda dengan Ibu saya?" Suara Albas terdengar datar nan dingin. Bahkan membuat Zidya bergidik, seperti tidak mengenali cowok tinggi di samping kanannya saat ini.

"Maaf." Sepertinya hanya itu yang mampu Anto ucapkan, lidahnya terasa kelu bahkan sekedar untuk mengeluarkan pernyataannya maupun membela diri. Rasa bersalahnya kembali menyeruak didalam dada, terasa menyesakkan.

"Bertele-tele! Saya nanya hubungan Anda dengan Ibu saya. Ucapan Anda gak menjawab pertanyaan Saya."

"Saya khilaf, saya gak bermaksud," lirih Anto. Ia tertunduk, tak berani menatap lawan bicaranya.

Mendengar itu tangan Albas mengepal di atas pangkuannya. Meski Anto belum menjelaskan secara rinci, tapi entah kenapa Albas yakin jika memang lelaki brengsek di hadapannya adalah pelaku sebenarnya.

"Penghancur itu seharusnya gak bernapas tenang di dunia. Kalau pun masih bernyawa akan gua pastiin menderita," seru Albas. Kepalanya sudah terasa panas, hatinya seperti tercambik-cambik. Sakit yang tak terlihat, tetapi menyiksa Albas secara perlahan.

Anto meremas tangannya gelisah, pikirannya serasa beradu apakah harus menjelaskan atau tetap bungkam. Ia membuang napas perlahan, mendongak menatap Albas di sebrang sana. Lalu membuka mulutnya. "Saya gak bermaksud membuat Rosita menderita sampai napas terakhirnya, waktu itu saya benar-benar hancur, istri saya berselingkuh. Gak sengaja malam itu saya mabuk, niat saya ingin melupakan semua masalah. Tapi ternyata saya malah nambah masalah baru. Saya sedang dalam keadaan gak sadar saat melakukan hal itu, saya minta maaf. Saya minta maaf," jelas Anto. Nada penyesalan terdengar jelas diakhir kalimatnya.

Zidya menutup mulut dengan tangan, terkejut mendengar penjelasan Omnya yang selama ini sudah ia anggap seperti Ayah keduanya. Om yang selalu ia banggakan karena memberi kasih sayang lebih untuknya, ia tidak berpikir bahwa lelaki itu melakukan hal memalukan sehingga menghancurkan keluarga orang lain. Ini sulit di percaya, rasanya mustahil.

Sontak Albas berdiri, tangannya mengepal keras di kedua sisi tubuhnya. Dalam sekejap Albas sudah berada di hadapan Anto, menarik kerah kemeja lelaki itu hingga berdiri sejajar dengannya.

BUGH!

Satu pukulan didaratkan Albas tepat di perut Anto. Zidya yang melihat itu membulatkan mata, lalu berdiri.

"Gak akan gua biarin penghancur hidup damai di dunia," geram Albas.

BUGH!

"Lu bakal menderita, kaya apa yang Ibu gua rasain selama ini."

BUGH!

BUGH!

Anto jatuh terduduk di atas lantai, setelah mendapat pukulan keras tepat di rahang. Sudut bibirnya terlihat mengeluarkan darah segar.

Namun, amarah yang melingkupi Albas belum sedikitpun mereda, tangannya masih terasa gatal sekarang ditambah hatinya terasa panas dan sakit bersamaan. Mengingat bahwa pelakunya masih bernapas tenang, tanpa merasakan penderitaan pahit seperti dirinya.

BUGH!

BUGH!

BUGH!

BUGH!

Pukulan bertubu-tubi terus Albas daratkan kepada Anto. Tetapi, Anto tak berniat membalas sedikitpun, merasa bahwa ini memang pantas didapatnya. Ini belum seberapa sakitnya, daripada penderitaan keluarga yang telah ia hancurkan,.

Anto mengangkat tangan kanannya, begitu melihat Zidya yang berniat mendekat. Zidya yang melihat itu, menghentikan langkahnya. Perasaan gelisah menyelimuti dirinya, di depan sana ada dua orang yang menurutnya penting sedang berkelahi, tetapi Zidya tidak tau harus berbuat apa. Ia merasa tidak berguna.

"Gua bakal bikin hidup lu kaya neraka." Itu janji Albas, bukan omong kosong belaka.

Suara ringisan terdengar jelas di indera pendengaran Albas, tetapi tidak sedikitpun ia pedulikan. Albas segera bangun, langsung melewati Zidya tanpa sedikitpun menoleh pada gadis itu. Mengambil tas sekolahnya, lalu meninggalkan ruangan itu dengan emosi yang masih meluap-luap.

Setelah kepergian Albas, Zidya bergegas mendekati Anto yang mencoba berdiri. Zidya membantu lelaki itu untuk duduk di atas sofa, kemudian berjalan menuju lemari tempat obat-obatan tersimpan. Dengan kotak P3K di tangannya, ia bergegas mendekati Anto dan duduk di samping lelaki itu.

"Aarghh," ringis Anto, begitu Zidya menempelkan kapas yang sudah diteteskan obat merah ke luka yang terlihat masih mengeluarkan darah.

"Maaf Om." Zidya merasa ngilu mendengar itu sehingga menekan perlahan di atas lukanya.

"Mending kamu tenangin Albas, Zi. Dia pasti terluka banget sekarang," cetus Anto tiba-tiba.

"Tapi, luka Om," ujar Zidya ragu.

"Om bisa ngatasin ini. Tolong sampein ke dia juga, Om bener-bener minta maaf." Ada nada menyesal di akhir kalimatnya.

Zidya diam beberapa detik, lalu menangguk sebagai jawaban. Sebelum akhirnya memutuskan meninggalkan Anto dan menyusul kepergian Albas.

***

Gak nyangka, ternyata udah sampe di bagian konflik yang selama ini Albas tunggu-tunggu ^^

So stay tune, untuk chapter selanjutnya ;) Karena ini baru permulaan aja, hahaha ^^

Hate VS Love [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang