Empat Puluh

2.8K 466 95
                                    

Ali menatap rumah mertuanya yang sudah dipenuhi oleh banyak orang, tangannya berusaha mengepal dengan kuat, tapi ia sungguh lemah karena tangan, kaki bahkan seluruh tubuhnya bergetar dengan hebat. Ia melangsung meninggalkan taksi yang baru saja mengantarnya karena Ero tak bisa menjemputnya. Dengan langkah lemah, ia mendekati kerumunan di depan rumah mertuanya yang dikunjungi oleh para tetangga bahkan keluaga besar Prilly.

Melihat Ali datang, mereka langsung memberikan jalan untuk masuk sehingga pria itu kini dapat melihat dengan jelas tubuh istrinya yang berbaring tak berdaya dan ditutup hingga sebatas dada dengan kain putih. Ia menarik nafas lemah dan berdiri dibantu dengan papanya yang langsung menghampirinya. Air matanya tak dapat bertahan lebih lama ketika ia sudah berada dekat dengan istrinya dan menatap wajah pucat dengan senyuman yang terbingkai disana.

Ali berlutut disamping tubuh kaku Prilly begitu papanya melepaskannya. Ia menatap wajah dan tubuh itu lekat-lekat “Sayang, aku udah sampai. Aku.. haus” bisiknya lemah dan disambut air mata yang langsung ia elap dengan kedua tangannya “Sayang, bangun. Sayang. Kamu ngga mau nyambut aku?”

Ali menoleh ketika ibu mertuanya dan mamanya mengusap punggungnya, matanya memandang mata kedua wanita paruh baya yang sudah bengkak itu karena mereka sudah menangis sejak kepulangan keluarga Prilly dengan membawa jenazah ke rumah duka. Ali memegang tangan ibu mertunya “Bu, Prilly kenapa nggak bangun? Apa dia marah karena aku ngga nemenin dia lahiran? Tolong bangunin Prilly, Bu” pintanya membuat semua orang dalam rumah itu berusaha menahan tangisnya.

Kini, pria itu beralih menatap mamanya dengan pilu “Ma, Prilly Ma. Kenapa dia nggak kasih Ali waktu untuk membahagiakan dia lebih lama? Kenapa dia nggak bilang apa-apa sama Ali dan langsung pergi gitu aja? Ma, tolong Ali Ma, tolong bangunin Prilly” tuntutnya kehabisan akal. Ia bahkan tak malu bersikap seperti anak kecil didepan banyak orang karena yang ia inginkan istrinya kembali bangun.

“Ali, kamu jangan gini” tegur mamanya kembali menangis.

“Ma, tolongin Ali. Ali belum siap ditinggal gini aja” pintanya lagi. Bahkan untuk melihat wajah Prilly yang kaku meski menunjukkan senyum kecil saja, ia tak mampu karena masih merasa bahwa semuanya hanya omong kosong “Ini pasti mimpi kan, Ma? Iya kan Ma?”

Ero mendekati Ali dan menepuk bahu pria itu “Li, please, jangan gini. Sekarang mendingan kamu lihat muka kak Prilly baik-baik untuk yang terakhir kalinya. Dia beneran udah pergi” ujarnya lemah dan mengingatkan pria itu agar tak membuang waktu lebih lama karena ia sendiri sudah sadar bahwa kakaknya benar-benar meninggalkan mereka.

Ali menatap Ero penuh harap “Ro, Prilly bilang apa semalam? Dia marah karena aku ngga bisa nemenin dia lahiran? Di..a..dia bilang apa sama kamu sampe hari ini dia pergi gitu aja tanpa ninggalin pesan sama sekali”

“Aku juga nggak dapat pesan apa-apa. Ibu bilang sebelum kak Prilly menghembuskan nafas terakhir, dia cuma senyum dan bilang ‘Prilly sudah jadi ibu seperti ibu’. Kamu udah jadi ayah” ujar Ero.

Ali menatap Prilly dengan lemah “Sayang, bangun. Anak kita butuh kamu. Aku butuh kamu. Gimana bisa kamu ninggalin kami begitu aja? Kenapa kamu tega ninggalin mereka untuk aku? Untuk mengurus diri sendiri aku ngga becus, sekarang gimana caranya aku membesarkan anak kita tanpa kamu? Bangun sayang, bangun”

Ali keluar dan meraih tasnya yang tadi sudah tergeletak didepan saat ia hendak masuk ke rumah, lalu membawanya masuk sambil membongkarnya didepan semua orang. Ero menegur Ali karena sikap pria itu yang tak ia mengerti sama sekali “Li, kamu ngapain?” tanyanya

“Bentar Ro, kemarin Prilly nitip banyak makanan sama aku” ujarnya lalu mengeluarkan beberapa bungkus makanan yang dipesan istrinya “Sayang, ini pesanan yang kamu minta sama aku” ujarnya mengangkat tinggi diatas Prilly “Sayang, ayo bangun, makan ini dulu. Aku tau kamu pasti marah karena aku terlambat dan ngga nepatin janji aku kan, tapi aku nepatin janji aku untuk bawa makanan, sekarang giliran kamu bangun untuk makan oleh-oleh ini. Aku bawa ini untuk kamu, sayang” tangisnya pilu. Ia memukul dadanya beberapa kali ketika melihat mata itu benar-benar tak terbuka.

“Sayang. Kamu boleh minta apa aja sama aku, ngerepotin aku atau apapun itu, tapi tolong jangan meminta aku mengurai air mata kayak gini, aku ngga sanggup. Aku mau nurutin semua keinginan kamu walaupun anak kita udah lahir, sekalipun itu karena kamu kesel sama aku, kamu boleh ngelakuin apa aja, asal bukan pergi kek gini. Aku ngga siap sayang. Bangun” pintanya mulai lemah.

“Udah Li” kini ayah mertuanya yang berusaha menenangkannya. Mama Ali bergeser sedikit jauh dan menenangkan diri melihat anaknya seperti kehilangan arah.

“Pak, saya belum sanggup jadi suami yang baik untuk Prilly, tolong bangunin Prilly” pintanya dengan suara bergetar.

Ayah Prilly memeluk pria itu “Kamu ngga bisa gini, Li. Prilly benar-benar udah ninggalin kita semua dan bapak yakin kalau dia udah tenang diatas sana”

“Tapi saya belum mendengar apapun dari Prilly, pak. Terakhir kali telponan, dia cuma bilang kalau saya harus sehat selalu supaya bisa cepet ketemu sama dia, tapi setelah kesini yang saya temuin cuma raganya aja”

Ali kembali menatap Prilly “Sayang, ternyata ini alasan kamu jadi sering ngucapin ‘I love you’ sama aku. Ternyata itu ucapan perpisahan yang berulang kali kamu ucapkan sama aku” ingatnya karena sejak ia berpisah dari Prilly sebulan yang lalu, wanita itu jadi sering mengucapkan kalimat cinta padanya.

“Sayang, please bangun. Seenggaknya kasih aku penjelasan supaya aku bisa memahami kerpegian kamu. Aku ngga punya apa-apa untuk dijadikan alasan untuk mengikhlaskan kamu. Aku merasa Tuhan terlalu kejam dengan terus mendatangkan masalah ke rumah tangga kita, tapi ini lebih kejam dari yang pernah aku bayangkan”

“Ali, jangan bicara seperti itu” tergur ibu mertuanya semakin terisak. Ia juga belum bisa menerima kepergian putrinya, namun ia berusaha mengikhlaskannya walaupun sulit.

“Saya merasa ini sangat tidak adil bu” lirih Ali sangat memprihatinkan “Kenapa harus kami yang seperti ini? Tidak cukup membuat Prilly amnesia dan kami kehilangan anak pertama kami, lalu untuk tersenyum menyambut anak kedua dan ketiga pun, kami bahkan tak bisa bersama. Saya rasa ada dosa besar yang membuat Tuhan begitu membenci saya dan memberikan garis takdir seperti ini”

“Ali, ikhlasin Prilly. Dia pasti ngga tenang kalau kamu justru jadi begini” ujar mamanya pada Ali.

“Tapi Ali ngga bisa, Ma. Ali butuh penjelasan untuk bisa mengerti kepergian istri Ali” kekeuh Ali sambil menatap dalam wajah istrinya, tangannya tergerak mengusap pipi dingin itu.

“Sudah” pinta ayah Ali tak kuasa menahan Ali karena ia yakin perasaan pria itu sangat sakit ditinggal tanpa pesan dan tanggung jawab untuk membesarkan dua anak sekaligus “Sekarang kamu lebih baik mandi. Anak kamu pasti pingin disapa oleh ayahnya”

“Anak saya mana, pak?”

“Di kamar Prilly, lagi sama Disha”

***

Ali menghampiri anak-anaknya yang baru saja tertidur ketika ia sudah selesai mandi. Tangannya bergetar saat menyentuh wajah keduanya bergantian, membelai wajah kemerahan yang tubuhnya terbungkus dengan kain gendong. Ia duduk di lantai dan menyandarkan tangannya diatas tempat tidur sambil menatap anak-anaknya dengan tangis yang perlahan turun kembali.

“Ini papa” ujarnya pelan “Maaf. Papa bahkan ngga bisa tersenyum di hari kelahiran kalian” tangisnya cukup kuat, namun ia menahannya untuk tak mengangguk tidur kedua anaknya yang baru saja tenang karena sejak tadi keduanya juga sangat rewel, itu yang dikatakan oleh Disha saat ia hendak masuk tadi.

“Ini anak kita, sayang” ujarnya saat menatap foto yang terpajang diatas lemari rias Prilly. Ia meraih foto itu dan mengusapnya seolah ia sedang mengusap Prilly dengan nyata, lalu memeluknya dalam tangis “Makasih sudah melahirkan anak-anak yang sehat. Kamu berhasil jadi seorang ibu” ujarnya.

“Kalau kamu ada disini, kamu bilang kamu akan lebih aman dalam mempertahankan kandungan kamu, tapi kamu bahkan ngga bisa mempertahankan diri kamu untuk tetap disini sama aku, sayang. Anak-anak kita masih sangat kecil dan tak mengerti apapun, lalu bagaimana aku bisa membesarkan mereka sementara menjadi suami kamu aja aku ngga bisa bertanggung jawab dengan baik. Pulang sayang, pulang. Tempat kamu adalah aku dan anak-anak kita”

“Apa sebegitu indahnya surga sampai kamu begitu cepat meninggalkan kami?” Ali mengusap air matanya dengan kasar lalu kembali menatap foto Prilly “Bagaimana aku bisa menjalani hidup setelah ini, tanpa kamu?”

⭐⭐⭐

Jangan lupa vote dan komen

19 Juni 2020

About Me & YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang