Sudah seminggu Ravaro terbaring di rumah sakit. Tanpa menunjukkan tanda-tanda dia akan bangun. Masih betah dengan alam bawah sadarnya itu.
Sudah seminggu juga Aqilla melakukan aktivitas menemani Ravaro di rumah sakit. Setelah pulang sekolah, Aqilla selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk bertemu Ravaro. Memberi semangat kepada sahabatnya itu. Aqilla tidak pernah lelah melakukan hal itu.
Aqilla selalu berdoa untuk Ravaro, tidak pernah terlewat sehari pun. Dia berdoa agar Ravaro diberi kesadaran dan akhirnya bisa bangun dari tidur panjangnya.
Aqilla rindu dengan Ravaro yang selalu menjahilinya. Dia rindu dengan Ravaro yang selalu menggodanya. Dia rindu Ravaro yang selalu ceria di depannya walaupun menyebalkan. Dia rindu semua hal tentang Ravaro.
Kini Aqilla sudah berada di rumah sakit sejak pulang sekolah tadi. Dia langsung bergegas ke rumah sakit setelah bel pulang sekolah berbunyi. Biasanya dia ke sini bersama temannya atau Gilang dan Leo. Tapi hari ini mereka tidak ada yang bisa menemaninya. Aqilla sih tidak masalah, toh dia juga bisa pergi sendiri.
Saat ini hanya ada Aqilla, tadi Mama Ravaro pulang saat dirinya datang.
Aqilla duduk di kursi yang terletak di samping ranjang Ravaro sambil membaca novelnya. Ini salah satu hal yang selalu dia lakukan saat menemani Ravaro selain mengajaknya berbicara. Kadang dia membacakan materi sekolah kepada Ravaro walaupun dia tau mungkin itu tidak akan diingat oleh Ravaro saat dia sadar, tapi kan setidaknya orang koma masih bisa mendengar.
Lembar demi lembar telah Aqilla baca, kini tatapannya beralih ke wajah Ravaro yang damai. Bola matanya bergerak menelusuri wajah Ravaro yang tenang.
"Ro, kapan bangun? Udah seminggu loh," kata Aqilla.
Tidak ada jawaban. Ya, tentu saja.
"Sebentar lagi kita kelas dua belas, emang lo mau ketinggalan pelajaran? Terus nanti peringkat lo turun,"
Tangan Aqilla bergerak menggenggam tangan Ravaro yang bebas, tanpa selang infus, mengusapnya dengan lembut, berharap Ravaro merasakannya.
"Tau gak Ro? Gue kesepian tau gak ada lo, ayo dong bangun,"
Ya, Aqilla merasa kesepian saat Ravaro tidak ada di sisinya. Setiap hal yang dia lakukan selalu mengingatkannya kepada Ravaro, misalnya saat dia mengerjakan tugas di rumah, dia teringat Ravaro karena Ravaro sering membantunya. Ravaro, sahabatnya yang sangat dia sayangi.
"Mau sampe kapan, Ro?" kata Aqilla, kini dia sudah terisak. Tidak bisa terelakan, dia rindu Ravaro-nya.
"Inget gak waktu kita malmingan, yang lo beliin gue cilok, di depan rumah gue, katanya lo mau jagain gue. Kalo lo belom bangun juga, yang jagain gue siapa?"
"Kalo gue lagi badmood, siapa nanti yang rela anterin cilok ke rumah?"
Aqilla menyeka air matanya. Dia harus ingat kata Haikal bahwa dia harus kuat, setidaknya di depan Ravaro.
"Gue janji deh, kalo lo nanti minta temenin makan pecel lele, gue mau. Lo gak perlu iming-iming cilok ke gue. Tapi lo harus bangun dulu,"
"Ro, gue mau jujur nih, gue kangen tau sama lo. Gak cuma gue sih, yang lain juga,"
Mau dibilang berapa kali pun, jika tidak ada tanggapan juga percuma. Aqilla mengela napasnya. Tidak, Aqilla harus optimis.
"Udah ah, gue gak mau nangis lagi, kan lo gak suka kalo gue nangis," kata Aqilla sambil menyeka air matanya lagi. "Gue cerita yang seru-seru aja nih,"
Aqilla menarik napasnya. Memulai cerita yang mungkin juga bisa didengar Ravaro. Aqilla menceritakan bagaimana keadaan sekolah saat Ravaro di rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Special Friend | When You Were Special For Me ✔
Teen Fiction[COMPLETED] "Ceweknya itu yang lagi makan cilok di depan gue." "Mau gue musuhin seumur hidup lo?" •••• Tentang perasaan yang muncul karena sebuah ikatan bernama pertemanan. cover by _adindazp