Tarik. Buang. Tarik. Buang.
Reira membuka pintu rooftop pelan. Meskipun pelan tapi masih tetap menimbulkan suara khas pintu yang sudah lama tak dibuka. Suara itu mampu membuat Ravaro menoleh ke sumber suara. Reira terdiam dengan tangan yang masih memegang knop pintu.
"Sini,"
Reira melangkah pelan mendekati Ravaro. Ya, dia akhirnya memutuskan untuk menuruti permintaan cowok itu. Lebih cepat lebih baik, pikirnya.
Keduanya berdiri berdampingan menatap jalanan yang terpampang di bawah sana. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Bola mata Reira diam-diam melirik Ravaro yang juga sama diamnya dengan dia. Canggung sekali. Oke. Reira tidak ingin mengulur waktu lagi, saatnya dia angkat suara.
"Ro,"
"Ra,"
Mereka mengeluarkan suara dalam waktu yang sama.
Reira memejamkan matanya sejenak menghilangkan kegugupannya.
"Lo dulu,"
"Lo dulu,"
Apa ini? Bareng lagi?
Akhirnya Reira tutup mulut. Dia tidak mau kejadian barusan terulang lagi.
"Maaf,"
Akhirnya Ravaro buka suara. Reira masih bergeming di tempatnya. Dia tidak tau harus menjawab apa. Menurutnya kan Ravaro tidak salah.
"Ra, maaf," kata Ravaro sambil mengarahkan tubuhnya untuk menghadap Reira. Menyadari itu Reira akhirnya juga menghadap Ravaro.
Tahan, jangan cengeng.
Reira tersenyum, "Harusnya gue yang minta maaf,"
"Gue ngerti kok. Maaf ya gue jadi gini. Maaf kalo perasaan gue jadi beban buat lo. Maaf,"
"Perasaan lo sama sekali gak jadi beban buat gue, Ra,"
"Maaf banget kalo gue bikin lo gak nyaman,"
"Ra, lo gak salah. Perasaan lo gak bisa disalahin,"
Reira menunduk, "Tapi karna gue pertemanan kita jadi gini, Ro,"
Ravaro meraih tangan Reira. Mengusap tangan itu membuat Reira tertegun dan mengalihkan pandangannya ke arah Ravaro.
"Maaf. Pasti lo ngerasa gue jadiin pelarian, kan? Enggak, Ra. Gue beneran tulus temenan sama lo, bukan karna ada hal lain,"
Reira sudah tak bisa menahan lagi. Kini air matanya mengalir membasahi pipinya.
"Jangan nangis,"
Gimana gak nangis? Rasanya sakit banget, ucap Reira dalam hati.
Reira tersenyum, lagi-lagi senyuman yang dipaksakan.
"Gue gak berharap lo bales perasaan gue, Ro. Karena gue tau sayang lo itu cuma buat Aqilla, ya kan? Gue tau diri kok. Kita emang cuma temenan. Gue aja yang terlalu bawa perasaan,"
"Ra,"
"Dan lo bener, gue merasa kalo gue dijadiin pelarian. Di saat gak ada Aqilla, lo ke gue. Maaf gue harus bilang ini, tapi rasanya emang sakit banget, Ro,"
Ravaro sangat merasa bersalah sekali sekarang. Selama ini, dia tidak sadar kalau sudah mematahkan satu hati.
"Lo selalu bersikap manis ke gue, kasih perhatian, wajar kan kalo gue jadi suka sama lo? Kalo aja waktu itu kita gak ketemu di rooftop, kayanya situasinya gak jadi rumit begini," kata Reira sambil tertawa miris. "Tapi belakangan ini gue sadar, kalo lo itu emang baik ke semua orang. Lo orang baik dan gue gak salah naruh hati buat lo. Cuma waktunya aja yang salah,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Special Friend | When You Were Special For Me ✔
Teen Fiction[COMPLETED] "Ceweknya itu yang lagi makan cilok di depan gue." "Mau gue musuhin seumur hidup lo?" •••• Tentang perasaan yang muncul karena sebuah ikatan bernama pertemanan. cover by _adindazp