43 : Memori

17 5 0
                                    

Aqilla membuka matanya. Matanya sedikit menyipit guna menyesuaikan cahaya yang masuk. Matanya menangkap langit-langit ruangan yang berwarna biru. Dia merasakan kepalanya sangat pusing.

Aqilla bangkit dari posisi berbaringnya.  Dia mengedarkan pandangannya, menatap sekeliling. Ini bukan kamarnya. Aqilla tau betul ini kamar siapa.

Dia menatap bayangan dirinya di pantulan cermin. Kacau. Matanya sembab. Rambutnya berantakan. Jika ditambah dengan pakaian sobek-sobek, dia bisa dikira orang gila.

Dia menghampiri meja belajar yang letaknya di sebelah kanan kasur yang tadi dia tiduri. Duduk di kursi. Ada figura foto yang menampilkan dia dan sang pemilik kamar ini yang tersenyum ceria.

Aqilla kembali menangis. Hatinya begitu ngilu saat menyadari dia telah menelan kenyataan pahit. Kenyataan pahit yang seolah seperti mimpi. Tapi tidak, ini nyata.

Aqilla merasakan kesepian yang mendalam.

Pintu kamar diketuk, tak lama terbuka dengan Bunda yang masuk memakai pakaian serba hitam. Menambah keyakinan Aqilla bahwa ini benar-benar nyata.

Bunda menghampiri Aqilla. Memeluk Aqilla begitu erat. Membuat Aqilla semakin terisak dalam dekapan Bunda.

Bunda menghapus air mata Aqilla yang terus mengalir. Menatap manik mata Aqilla dengan teduh membuat Aqilla tersenyum kecut.

"Jangan nangis terus. Ravaro gak suka liat kamu nangis,"

Mendengar nama itu, Aqilla lagi-lagi meneteskan air matanya. Dia benar-benar tidak kuat. Kehilangan ini membuatnya sangat terpukul.

"Mau ketemu Ravaro?"

Aqilla terdiam. Dia belum siap. Tapi ini saat terakhirnya untuk melihat wajah Ravaro secara nyata. Pelan namun pasti Aqilla mengangguk.

Dia bangkit. Tangannya digenggam erat oleh Bunda. Bunda menyalurkan kekuatan untuk Aqilla. Selalu seperti ini. Mereka keluar kamar Ravaro. Aqilla melihat banyak teman sekolahnya dan Ravaro datang yang pastinya untuk melihat Ravaro untuk terakhir kalinya.

Aqilla berhenti melangkah sejenak. Memejamkan matanya, menguatkan hatinya ketika sudah dekat dengan Ravaro. Lalu melanjutkan langkahnya sampai Ravaro. Aqilla duduk memandangi wajah Ravaro yang pucat.

Bahunya bergetar, dia menangis di samping jenazah Ravaro. Bunda memeluk Aqilla lagi sambil mengusap pundaknya.

"Do'akan yang terbaik buat Ravaro," kata Bunda pelan. Aqilla mengangguk. Lalu menengadahkan kedua tangannya, memejamkan matanya, memanjatkan do'a untuk Ravaro.

Semoga Ravaro tenang di sana. Semoga Ravaro bahagia di sana. Semoga Ravaro tidak merasakan sakit lagi. Semoga kita bisa ketemu lagi, Ro.

Setelah selesai, Aqilla tidak langsung beranjak bangun. Dia masih mau memandangi wajah Ravaro. Wajahnya pucat namun damai, tenang, dan masih terasa hangat baginya.

Dia mendongak. Pandangannya tertuju ke arah Mama Ravaro yang sedang terisak dengan Papa Ravaro yang sedang menenangkannya. Tidak seharusnya Aqilla begini. Bersikap seolah-olah dia yang paling kehilangan Ravaro. Nyatanya orang tua Ravaro lah yang paling merasakan itu.

Dia beranjak lalu berjalan menghampiri Mama Ravaro. Tanpa banyak kata, Aqilla memeluk Mama Ravaro yang menangis. Tangisnya terdengar makin menjadi ketika Aqilla memeluknya.

Aqilla mengusap lembut punggung Mama Ravaro. Beliau pasti sangat kehilangan. Ravaro adalah anak tunggal. Sudah pasti sangat disayang oleh orang tuanya.

Aqilla yang sama terpukulnya tidak bisa berkata-kata untuk menenangkan, dia hanya melakukan hal yang dia bisa untuk memberikan setidaknya sedikit ketenangan bagi Mama Ravaro.

Special Friend | When You Were Special For Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang